Apa kabar masa lalu? Apa semua berjalan dengan baik? Seperti apa yang kamu kehendaki? Apa semua tampak sempurna setelah kepergianku? Apa hati yang kau bilang aku hancurkan telah membaik? Apa setiap luka yg kau sebut aku gambarkan telah mengering? Apa tak kau coba melihat keadaanku saat ini walaupun dengan sebelah matamu? Pelupuk laraku mulai membias, aroma tubuhmu yang khas selalu tergambarkan dalam setiap imajinasiku, bagaimana aku menghapus bayangmu sementara nyatamu masih selalu ada? Bagaimana bisa aku bertahan dengan pilu palsu yang tak kunjung bertemu dengan muaranya? Sendu masih saja merayu, mencibir setiap doaku yang tak pernah terselip nama selain namamu, hal baik tentu bisa ku kutip, dari pola setiap waktu dimana rasa kian mengadu, bagaimana mata itu dapat menatapku sedingin itu? Mata yang dulu selalu memberikan pelangi indah di ujung pelupuk mata, dimana ruang hangat jiwamu berada? Aku terlalu lemah disini, mengharapkan rasa yang kau biaskan untuk menghangatkan setiap dinginku, sekilas bayangmu hadir begitu nyata, menggodaku yang kian merana. Aku sadar, kau hanya zat yang singgah yang menggoreskan luka terindah, kamu adalah cahaya yang datang dari suatu tempat yang jauh, terlampau jauh hingga aku taktau harus kemana mencari saat kau pergi, tenanglah kau sekelam senja, kepergian senja adalah sendu yang aku basuh dalam tiap air mata.
Sepi yang terasa, semakin sunyi dengan hadirnya rindu menjelma dalam asa, Aku sedang menyadari tanpa tujuan, menerka kembali kenangan yang terjadi, angan dalam aksara atau sekedar rindu yang masih melekat hangat, setiap dekap canda yang memikat aku telah terlelap, masuk jauh kedalam jurang kehampaan yang mengoda, seolah indah, namun telah menunggu duka yang nyata, sangat nyata sampai aku taktau bagaimana semestinya aku mendeskripsikan luka. Perlahan-lahan inginku usap lagi salahku, jemari menari menghapus sisa air mata yang membekas memberi batas antara kenyataan dan rindu yang ku simpan sendiri, kau tidak lagi benar-benar ada dalam cerita nestapa malam yang hampa. Bukan harapan yang aku tuliskan, tapi kenyataan yang mendendam dalam bait sajak penantian, ingatlah kita pernah saling mencintai dengan terengah. Menertawakan malam yang semakin kelam seolah karna kita ia tak mampu membunuh rasa. Dan bait terakhir dari tulisan ini adalah doa yang ingin ku sampaikan kepadamu.
Semoga kau bahagia dengan pilihanmu.