Selamat pagi semesta, ada banyak hal yang aku ingin gambarkan lewat kata-kata pada pagi ini, aroma embun memang masih terasa. Mari bercerita, bukan maksud untuk melahirkan dusta aku hanya ingin sedikit mengenang nuansa. Pagi bening saat embun menyapa atau suara denting gelas yg berirama, gemericik air yang tertuang. Dalam kenang perlahan hadir mengusik kepasrahan. Jiwa kita tak lagi saling tahu. Tapi pada kenyataannya, hanya kamu yang taktahu. Karena aku masih mengawasimu dari jauh, menyimpan sedikit asa lalu goyah tanpa makna. ada banyak hal yang takbisa kita lupakan begitu saja, tentang bagaimana waktu membawa kamu dan aku pada satu titik yang fana. Tegur sapa bahkan saling cinta, kenangan yang akan selalu semesta jaga. Lalu perlahan aku membuka lembaran cerita lama. ini bukan lagi perkara rindu ataupun menunggu. Jiwa yang kukuh lantas layu dimakan waktu. Aku mencintaimu, lalu pun aku mengajak duniaku dan semesta untuk ikut mencintaimu. Menari bersamaku, Selepas kehilangan senja aku tak ingin merana dalam tawa. Benar katamu, seandainya waktu itu aku sedikit lebih bijaksana, kita akan bertahan dalam aroma cinta yang lama. Berpeluh memeluk wangi surga, bahagia tanpa nestapa. Dimana dirimu bisa kusapa? Percayala sampai detik pagi ini, sambil menulis diksi-diksi kebohongan yang kau ucap kemarin aku masih menunggu wujudmu. Semua taklagi terasa sama, perlahan waktu membawa kita ke dunia yang berbeda, bahkan untuk bertegur sapa mungkin aku harus mengalah, salah satu jiwa menahan rindu dimalam hampa sementara kamu menari dihari yang cerah. Percayalah, aku tidak akan menjual rasa cintaku kepada semesta. Jiwa ini kokoh, murni sebening tetes embun yang melahirkan perumpamaan lewat kata - kata. Sadarilah, kesulitan jiwaku memecah rindu untuk kita silangkan bersama ragu yang mendekap dalam hari berlembar hari tentang betapa rasaku selalu untukmu. Mencintaimu, dalam setiap hembusan nafasku. Kau, mempermainkanku dalam asa semesta. Bersembunyi dibalik pekat malam menyapa seolah kau tampak nyata, ternyata fana. Intuisiku menyapu gelora, hasrat terpendam belum ku tuntaskan karena pagi telah menelan harapan. Tubuhmu tetap semu, dan tubuhku terbujur kaku. Menatap angkuh lipatan kertas bertulisan puisi yang telah kurobek lembar demi lembar nya. Karena aku tidak akan menunggu kematian sembari membacanya, bayangmu fana dan akan selalu fana. Didunia ini aku bernafas, menghirup setiap detik oksigen mencibir kenyataan bahwa fana adalah teman tak beraksara. Mataku terus saja melihatmu, namun kedua bola mata permata hitam itu tak sedetikpun menatap ke arahku, kau tetap tak bergeming. Dan aku diabaikan dalam sendu. Menjadi bulan-bulanan perasaan tak menentu,
Aku masih ingat betul aroma tubuhmu dan nada khas yang keluar dari mulutmu, katamu, cukup bersikap layaknya aku memperlakukan wanita-wanita yang lain. Puan, sadarlah ini bukan hanya sekedar ambisi yang lalu hilang, ini soal rasa yang tuhan titipkan bersama cerita-cerita yang aku sebut takdir. Aku selalu berucap padamu, seandainya aku bisa memilih untuk mencintai siapa, aku rasa itu bukan kau puan. Aku tak pernah ingin masuk dalam benteng keyakinan yang kau bangun, lalu merusaknya karna sebuah momentum yang salah. Aku bukan mencoba menyalahkan tuhan yang telah membuat rasa ini, namun aku yakin ini jalan tuhan untuk menjaga rasaku, kita pada satu domain yang sama tentang cerita-cerita fiksi yang aku ungkapkan, memang kau tak akan percaya doraemon akan dapat memutar waktu namun percayalah semesta mempunyai hal yang lebih sakti untuk menyatukan kita kelak.
Apakah manusia dilahirkan dari harapan untuk bertahan di dalam bimbang yang meremang? Cahaya makin pudar, pesona mata kian jatuh pada tatap memikat. Hati runtuh, ia memaksa untuk luruh pada janji terpaut atas mimpi untuk bersama. Datang dan pergi, hilang lalu menanti. Mencari arah, kau tak pernah ada. Apa yang kita harapkan dari sebuah usaha perjalanan? Keberhasilan menuntunmu pada jalan kebahagiaan, atau kegagalan yang mengajarkanku arti dari sebuah kebijaksanaan? Waktu menahan sesak yang kian mencekam, nafas terusik, jiwa tandus dalam nestapa yang dibilas airmata. Penyesalan, akhir dari perjalanan. Menjadi suku kata yang takbisa lagi aku rakit, semua terasa abstrak. Hancur porak poranda dalam kisah pilu jiwa yang putus asa. Jiwaku gundah kian lara, laksana mati dalam harapan yang patah. aku jatuh tersungkur dalam duka, bagaimana seharusnya kita berlapang dada? Kegagalan adalah jalan lain yang tuhan berikan, dia tak serta merta membuatku mati, hancur dalam keluh dan menggerutu dalam sendu. Aku ibaratkan hidup laksana drama luar biasa. Kita manusia berperan menjadi sang tokoh utama dan penulis naskah dalam lakon hidup, maka tulisla apa yang akan ingin kita jalani. Lantas segera laporkan naskah kepada Tuhan sebagai sutradara dalam drama ini, jika Tuhan setuju maka aku akan jalani sesuai apa yang aku tulis. Namun jika Tuhan menolak naskahku, tenang, tuhan memiliki naskah yg lebih baik untukku. Maka aku harus belajar menulis naskah menggunakan sebuah pensil, agar saat ketika aku keliru, aku bisa dengan mudah menghapusnya. Karena sesuatu yang tertulis oleh pena, seberapa pun aku ingin menghapusnya, ia akan tetap meninggalkan bekas. Hati yang patah tak pernah menjadi masalah, karena jiwa telah berserah kepada kenyataan. Ada hal yang bertahan dalam keinginan yang hilang, tangisku meredah, tak terdengar telinga namun ia tetap ada. Tangis tanpa suara, lapar tak berdosa atau haus mencari tandus.
Lantas seketika embun meneteskan harapan, senja meremang jingga dan malam melingkar purnama. Menjadi sejarah karena tatap matamu tidak pudar. Senyummu masih menuai harapan dan setiap kasih masih ada untuk merintih tiap lirih. Sungguh, jiwa telah berada diambang batas menuju keabadian. Ku titip kan rinduku pada setiap daun yang basah dan resah. Mungkin kelak disuatu pagi saat kau keluar dari kamarmu pagi itu, kau akan melihatku tersenyum dibawah pohon yang rindang. Menjadi kenangan bagi setiap embun dan pesona pagi. Warisan atas kenang dimana aku pernah ada untuk menyapa setiap nyawa diatas dunia. Dimana terang saat gelap membuai harapan? Setidaknya, aku pernah ada lalu kemudian dianggap tidak pernah ada. Mati dalam rindu, tenang bersama keabadian dan tenggelam aku didalam rupamu, bersama bayang nyata mengusir semu nan palsu. Ini adalah kisah tentang bisik lirih penuh cinta dimalam bisu. Dimana raga bersatu, berpeluh dalam asa bergemul membentuk rasa. kamu hanya zat yang singgah, meremang raga membentuk jiwa seolah akan selamanya ada. kamu adalah cahaya yang datang dari suatu tempat jauh, terlampau jauh hingga aku taktahu harus kemana mencari saat kau pergi.
Diam, barangkali hanya itu hal terakhir yang bisa aku lakukan, ketika semua perjuangan menghasilkan akhir yang berbeda dengan semua yang ku harapkan, entahlah meski aku tau perjuanganku tak pernah membuatmu luluh, aku selalu saja keras kepala dan tak pernah ingin berhenti mengejarmu. Terlalu cinta, mungkin hatiku terlalu dalam terjatuh dihatimu. Setidaknya aku bukan seseorang yang memilih diam lalu ditenggelamkan air matanya sendiri. pergi, barangkali memang seharusnya aku pergi, tak ada lagi perasaanmu yang harus kutunggu kepastianya, tak ada lagi hatimu yang ku tunggu waktu luluhnya, tak ada lagi kesempatan hatimu bersedia untuk kumiliki. Melatih ketabahan meski hati menjerit sakit karna di patahkan, tak ada yang tak mungkin hanya menjadi kalimat omong kosong yang menenangkan jiwa, sudah mengejar kemungkinan, tetapi akhirnya aku terjatuh dalam kegelapan yang disebut pahitnya kenyataan kehidupan, beruntung masih diberi kewarasan sehingga patah hati ini tak berujung menyalahkan takdir tuhan. Menjauh, barangkali aku harus benar-benar menjauh darimu, mendekati tanpa pernah disambut dengan baik, adalah sebuah pertanda untuk harapanku agar menjauh dan tak memaksakan diri. Baiklah, aku akan sadar diri dan mencukupkan untuk harapan berhenti tumbuh sebelum hati semakin tinggi berangan, kemudian terjatuh membuat aku dan kamu berjarak bukan karna aku membencimu. Menyadari bahwa semua orang berhak mencintai orang yang dicintainya, dan semua orang berhak tidak mencintai orang mencintainya, orang yang mencintai berhak untuk mengejar, orang yang dicintai berhak untuk menghindar. Setidaknya aku pernah memperjuangkanmu dengan penuh kesabaran lalu mundur dengan penuh kesadaran. Terimakasih atas 5400 detik kemarin yang sangat berkesan, aku tak akan pernah lupa dengan hal itu. Semoga kelak kita dapat bisa dipertemukan dalam situasi yang lebih baik. Dan yang tertulis adalah tentang kau yang termanis. Tubuh kecil diatas dunia besar, raga mungil didalam harapan yang luas. Suara adalah penyampai pesan, tertuang dalam setiap lirik sajak sendu yang melagu. Kau hadir menyapa kepasrahan, merangkul kesedihan mengubahnya menjadi bahagia dalam aksara tanpa kata, karena senyumanmu saja sudah cukup melukiskan semua. Setidaknya aku pernah merasakan bahagia meskipun terluka.
Ini adalah blog terakhir yang saya tulis, setelah ini blog ini akan vakum untuk waktu yang tidak bisa ditentukan, karna isnpirasi saya telah menyuruh saya berhenti. terimaskih untuk 13.000 pembaca yang setia membaca walaupun tulisan di blog ini tidak pantas dinikmatin. Semoga dapat bertemu dikarya-karya saya yang lain. Terimakasih atas kritik dan saran atas kemajuan blog ini, semoga beberapa tahun kedepan saya dapat menulis lagi dengan isnpirasi yang baru. Saya izin undur diri, mohon maaf apa bila dari beberapa tulisan saya menyinggung atau menyakiti hati yang sedang termakan derasnya semesta.
SALAM RINDU
Muhammad Renaldi
Aku masih ingat betul aroma tubuhmu dan nada khas yang keluar dari mulutmu, katamu, cukup bersikap layaknya aku memperlakukan wanita-wanita yang lain. Puan, sadarlah ini bukan hanya sekedar ambisi yang lalu hilang, ini soal rasa yang tuhan titipkan bersama cerita-cerita yang aku sebut takdir. Aku selalu berucap padamu, seandainya aku bisa memilih untuk mencintai siapa, aku rasa itu bukan kau puan. Aku tak pernah ingin masuk dalam benteng keyakinan yang kau bangun, lalu merusaknya karna sebuah momentum yang salah. Aku bukan mencoba menyalahkan tuhan yang telah membuat rasa ini, namun aku yakin ini jalan tuhan untuk menjaga rasaku, kita pada satu domain yang sama tentang cerita-cerita fiksi yang aku ungkapkan, memang kau tak akan percaya doraemon akan dapat memutar waktu namun percayalah semesta mempunyai hal yang lebih sakti untuk menyatukan kita kelak.
Apakah manusia dilahirkan dari harapan untuk bertahan di dalam bimbang yang meremang? Cahaya makin pudar, pesona mata kian jatuh pada tatap memikat. Hati runtuh, ia memaksa untuk luruh pada janji terpaut atas mimpi untuk bersama. Datang dan pergi, hilang lalu menanti. Mencari arah, kau tak pernah ada. Apa yang kita harapkan dari sebuah usaha perjalanan? Keberhasilan menuntunmu pada jalan kebahagiaan, atau kegagalan yang mengajarkanku arti dari sebuah kebijaksanaan? Waktu menahan sesak yang kian mencekam, nafas terusik, jiwa tandus dalam nestapa yang dibilas airmata. Penyesalan, akhir dari perjalanan. Menjadi suku kata yang takbisa lagi aku rakit, semua terasa abstrak. Hancur porak poranda dalam kisah pilu jiwa yang putus asa. Jiwaku gundah kian lara, laksana mati dalam harapan yang patah. aku jatuh tersungkur dalam duka, bagaimana seharusnya kita berlapang dada? Kegagalan adalah jalan lain yang tuhan berikan, dia tak serta merta membuatku mati, hancur dalam keluh dan menggerutu dalam sendu. Aku ibaratkan hidup laksana drama luar biasa. Kita manusia berperan menjadi sang tokoh utama dan penulis naskah dalam lakon hidup, maka tulisla apa yang akan ingin kita jalani. Lantas segera laporkan naskah kepada Tuhan sebagai sutradara dalam drama ini, jika Tuhan setuju maka aku akan jalani sesuai apa yang aku tulis. Namun jika Tuhan menolak naskahku, tenang, tuhan memiliki naskah yg lebih baik untukku. Maka aku harus belajar menulis naskah menggunakan sebuah pensil, agar saat ketika aku keliru, aku bisa dengan mudah menghapusnya. Karena sesuatu yang tertulis oleh pena, seberapa pun aku ingin menghapusnya, ia akan tetap meninggalkan bekas. Hati yang patah tak pernah menjadi masalah, karena jiwa telah berserah kepada kenyataan. Ada hal yang bertahan dalam keinginan yang hilang, tangisku meredah, tak terdengar telinga namun ia tetap ada. Tangis tanpa suara, lapar tak berdosa atau haus mencari tandus.
Lantas seketika embun meneteskan harapan, senja meremang jingga dan malam melingkar purnama. Menjadi sejarah karena tatap matamu tidak pudar. Senyummu masih menuai harapan dan setiap kasih masih ada untuk merintih tiap lirih. Sungguh, jiwa telah berada diambang batas menuju keabadian. Ku titip kan rinduku pada setiap daun yang basah dan resah. Mungkin kelak disuatu pagi saat kau keluar dari kamarmu pagi itu, kau akan melihatku tersenyum dibawah pohon yang rindang. Menjadi kenangan bagi setiap embun dan pesona pagi. Warisan atas kenang dimana aku pernah ada untuk menyapa setiap nyawa diatas dunia. Dimana terang saat gelap membuai harapan? Setidaknya, aku pernah ada lalu kemudian dianggap tidak pernah ada. Mati dalam rindu, tenang bersama keabadian dan tenggelam aku didalam rupamu, bersama bayang nyata mengusir semu nan palsu. Ini adalah kisah tentang bisik lirih penuh cinta dimalam bisu. Dimana raga bersatu, berpeluh dalam asa bergemul membentuk rasa. kamu hanya zat yang singgah, meremang raga membentuk jiwa seolah akan selamanya ada. kamu adalah cahaya yang datang dari suatu tempat jauh, terlampau jauh hingga aku taktahu harus kemana mencari saat kau pergi.
Diam, barangkali hanya itu hal terakhir yang bisa aku lakukan, ketika semua perjuangan menghasilkan akhir yang berbeda dengan semua yang ku harapkan, entahlah meski aku tau perjuanganku tak pernah membuatmu luluh, aku selalu saja keras kepala dan tak pernah ingin berhenti mengejarmu. Terlalu cinta, mungkin hatiku terlalu dalam terjatuh dihatimu. Setidaknya aku bukan seseorang yang memilih diam lalu ditenggelamkan air matanya sendiri. pergi, barangkali memang seharusnya aku pergi, tak ada lagi perasaanmu yang harus kutunggu kepastianya, tak ada lagi hatimu yang ku tunggu waktu luluhnya, tak ada lagi kesempatan hatimu bersedia untuk kumiliki. Melatih ketabahan meski hati menjerit sakit karna di patahkan, tak ada yang tak mungkin hanya menjadi kalimat omong kosong yang menenangkan jiwa, sudah mengejar kemungkinan, tetapi akhirnya aku terjatuh dalam kegelapan yang disebut pahitnya kenyataan kehidupan, beruntung masih diberi kewarasan sehingga patah hati ini tak berujung menyalahkan takdir tuhan. Menjauh, barangkali aku harus benar-benar menjauh darimu, mendekati tanpa pernah disambut dengan baik, adalah sebuah pertanda untuk harapanku agar menjauh dan tak memaksakan diri. Baiklah, aku akan sadar diri dan mencukupkan untuk harapan berhenti tumbuh sebelum hati semakin tinggi berangan, kemudian terjatuh membuat aku dan kamu berjarak bukan karna aku membencimu. Menyadari bahwa semua orang berhak mencintai orang yang dicintainya, dan semua orang berhak tidak mencintai orang mencintainya, orang yang mencintai berhak untuk mengejar, orang yang dicintai berhak untuk menghindar. Setidaknya aku pernah memperjuangkanmu dengan penuh kesabaran lalu mundur dengan penuh kesadaran. Terimakasih atas 5400 detik kemarin yang sangat berkesan, aku tak akan pernah lupa dengan hal itu. Semoga kelak kita dapat bisa dipertemukan dalam situasi yang lebih baik. Dan yang tertulis adalah tentang kau yang termanis. Tubuh kecil diatas dunia besar, raga mungil didalam harapan yang luas. Suara adalah penyampai pesan, tertuang dalam setiap lirik sajak sendu yang melagu. Kau hadir menyapa kepasrahan, merangkul kesedihan mengubahnya menjadi bahagia dalam aksara tanpa kata, karena senyumanmu saja sudah cukup melukiskan semua. Setidaknya aku pernah merasakan bahagia meskipun terluka.
Ini adalah blog terakhir yang saya tulis, setelah ini blog ini akan vakum untuk waktu yang tidak bisa ditentukan, karna isnpirasi saya telah menyuruh saya berhenti. terimaskih untuk 13.000 pembaca yang setia membaca walaupun tulisan di blog ini tidak pantas dinikmatin. Semoga dapat bertemu dikarya-karya saya yang lain. Terimakasih atas kritik dan saran atas kemajuan blog ini, semoga beberapa tahun kedepan saya dapat menulis lagi dengan isnpirasi yang baru. Saya izin undur diri, mohon maaf apa bila dari beberapa tulisan saya menyinggung atau menyakiti hati yang sedang termakan derasnya semesta.
SALAM RINDU
Muhammad Renaldi