Sampai disini, selepas kita memutuskan untuk saling lupa, apakah ada seseorang yang menyayangimu seperti aku sempat pernah mencintaimu? Sampai disini, setelah kita menari pada garis hidup masing-masing dan memilih untuk kembali tidak saling menyinggungkan harap, apakah kamu telah menemukan sosok yang tetap memberi senyum meski telah dalam luka kau tanam?
Harus aku akui, sejak kehilangan kini aku telah sampai pada titik ketika aku tidak tahu lagi dimana harus menuntaskan rindu. Lagi menyimpan duka, lagi mengasuh duka. Satu alinea paling berarti dalam hidupku seolah hilang begitu saja. Hanya menyisakan puing kenang dan secarik harap bertuliskan namamu. Aku masih menyimpan namamu, alinea yang hilang. Meski telah berkarib duka dan kehilangan semua harapan namamu tetap menjadi yang utama dalam doaku. Karena yang kau lakuin waktu itu hanya ragaku, bukan jiwaku. Rupanya, aku telah menjadi gila. Secangkir imaji tertumpah ruah membasahi aksara dan tidak tertampung lagi oleh jerit riak duka. Aku kalah oleh perasaanku sendiri. Lupakan tentang dua pertanyaan di awal puisi, maaf. Aku salah menafsirkan keadaan. Aku lupa bahwa aku tidak pernah ada dihatimu dan mengisi hari-hari disana. Aku, hanyalah sebentang lembayung yang rela menikmati rentang rindu sebelum pagi benar-benar akan datang. Berusaha memejamkan mata dan merasakan sekecup rindu di atas sepasang alisku. Lagi, aku bangun dari mimpi dan menyadari aku telah kehilangan satu alinea dari mimpi-mimpiku.
Bahwa sekeras apapun berjuang, sepotong senja tetap akan tenggelam. Tak perduli kau telah lantang melarang, memohon iba agar kau tetap bisa menikmati keindahan, agar ia tak lekas pulang. Bahwa sedalam apapun aku menyimpan perasaan, aku dan puisi tetap tak bisa berdamai dengan imaji. Kian liar, terkikis di antara tipisnya takdir kenyataan dan harapan. Menyisakan kenangan-kenangan bayang di ingatan, semua yang hampir hilang, masih membayang sadarkan lamunan. Maka , saat ketika semuanya akan mati kau harus tetap hidup. Hidup untuk melihat akhir dari dunia. Hidup untuk tahu alasan mengapa Tuhan menurunkan manusia di atas muka bumi. Serta hidup untuk melihat kenyataan tentang aku yang hampir mati dalam sepotong kisah jatuh cinta sendirian.
Mutiara rasa telah banyak mengubah takdir para penyelam yang mengorbankan diri berteman sunyi menuju dasar lautan. Entah sampai kapan lagi harus tenggelam, kita tak pernah tahu dari apa sepasang mutiara tercipta. Mungkin dari setetes airmata putri duyung yang menyimpan luka. Atau dari buah cinta Neptunus kepada laut merah. Aku mencintaimu, dalam tenang yang bisu. Meski kau tahu, perihal jatuh cinta sendirian masih aku juaranya. Pemenang untuk berpura bahagia, masih aku yang terbaik bersandiwara. Aku tidak akan menghakimi rindu yang basah akan merona, karena untuk bertatap mata, sungguh aku lemah kehilangan segala daya. Tatap matamu, melumpuhkan segenap pertahanan jiwa. Hingga aku lupa bagaimana seharusnya aku bisa berbicara.
Kemarin, sebelum kata terangkai menjadi sebuah puisi untuk menyampaikan rasa. Rupanya, senja terlalu takut menyapa malam. Lantas ia hanya temaram, melihat berapa pelan malam lambat laun membelai harapan. Tak lupa, di taburnya cahaya bintang dan selingkar purnama. Kemarin, aku jatuh, begitu dalam menuju ruang hatimu, menuju liang terdalam dari sepasang retina matamu. Menyelami tenang lautan senyummu untuk menggapai satu perhiasan warisan dari laut yang damai, mutiara rasa. Semu yang ku harap mampu tuntaskan setiap duka. Sampai saat ini masih melahirkan tanya. Setelah mutiara rasa menampakan cahayanya, aku dan kegundahan jiwa masih saja menerka-nerka. Kau dan aku menuju ruang hampa, perihal tanya tak berbalas, pinta tak tertuntas dan secangkir kopi yang tumpah ruah dalam genangan aksara. Aku masih menemukan banyak tanya tanpa jawab, di ruangan itu hanya ada kita berdua. Di ruang dimensi ini, aku akan hidup abadi. Berteman imaji dalam angan-angan untuk meminang bumi. Atau paling tidak, rasanya aku ingin menyematkan cincin di lingkar jari manismu seperti semesta melingkarkan cincin janji di raga Saturnus. Nyatanya, aku dan keinginan membawamu terbang jauh menembus angkasa hanya menyisakan puing duka yang menghempaskan aku kembali ke daratan. Tepat di sebuah pesisir dimana senja pernah dengan sukacita mendengarkan ratapan suara kita yang menggema di udara.
Mutiara rasa semoga sendu berteman damai. Meski sendirian ia tetap berani menuliskan harapan. Pada akhir perjalanan dan dan titik terakhir tulisan aku hanya ingin sekedar menyampaikan, tetaplah menjadi wanita yang bijaksana. Menanggapi jiwa-jiwa yang mencintaimu secara sederhana. Tetaplah menjadi pelita, bagi gelap jiwa yang menganggapmu sebagai cahaya. Tetaplah menjadi arah langkah, bagi jiwa yang tersesat belantara. Aku bahagia, telah melahirkan puisi mengatas-namakan dirimu. Meski di antara kau dan aku tidak ada yang akan pernah menjadi satu. Bahwa, ada hal yang tidak akan pernah bisa kita paksakan ada. Ribuan rintik hujan menyadarkan aku perihal kenyataan, bahwa ternyata di antara celah hatimu dan hatiku terbentang jarak jutaan kilometer jauhnya. Menembus angkasa, bertahun-tahun kecepatan cahaya, menjauhi matahari, kehilangan hangat dari galaksi tempat kita menaung mimpi menuju sebuah ruang dimensi. Disini, kita akan berhenti menerka-nerka, perihal kenapa dan bagaimana. Kenapa kau mengabaikanku tepat setelah hujan redah atau bagaimana aku bisa bertahan setelah kau tidak lagi ada? Bingkisan duka ini telah jauh menembus bimasakti, mencari bintang yang rela menukarkan segala luka dengan cahaya. Namun tetap saja, mengapa bayangmu tetap selalu ada.
Muhammad Renaldi
Bogor, 31 - May - 2019 | 02:57 WIB