Hallo, saya Aldi, dan saya kembali.
Awalnya saya berfikir bahwa menulis untuk saat ini tidak akan semenarik dulu, namun nyatanya, menulis masih tetap menjadi bagian yang menyenangkan, ketika saya menulis, saya akan tetap mampu menjadi sisi lain di diri saya, atau minimal saya mampu menggambarkan keresahan-keresahan yang ada pada lingkungan saya. Untuk bait-bait dibawah yang saya tulis, saya terinspirasi dari lagu Resah Menjadi Luka yang di populerkan oleh Daun Jatuh, seperti punya magic tersendiri, lagu ini mampu membawa saya kedunia yang penulis lagu inginkan, saya mencoba menerjemahkan melalui tulisan saya. Semoga seperti dahulu kala ya, tulisan saya masih mampu masuk kedalam Realita kalian.
Namun aku percaya, hadirnya jurang pemisah bukan tanpa suatu tujuan yang tidak beralasan. Itu mungkin hanya jeda yang melatih hati agar semakin dewasa. Agar kita sama-sama menjadi pemerhati yang peduli akan kondisi hati. Agar kita tahu seberapa besar cinta yang tersembunyi selama ini. Agar kita tahu selama apa hati telah absen mengungkapkan opininya sendiri.
Kita tidak akan pernah saling mencari lagi jika kita tidak benar-benar masih saling mengingini kan? Karena aku tahu, pada yang selain kamu hati tak bekerja sesempurna itu sebagai rumah untuk cinta. Karena kamu pun mengaku, pada yang selain aku rasa yang kau edarkan hanya sebatas rangkaian palsu. Kita pun sama-sama tahu, ada pekerjaan besar menunggu untuk melahirkan perbaikan-perbaikan bagi sebuah perasaan yang sempat kita sepelekan. Kita pun sama-sama tahu, kesempatan tidak datang dua kali pada yang berniat menyia-nyiakan.
Kita adalah dua anggota pasukan rasa yang melebur jadi satu nyawa. Untuk ketidak-akuran yang sering kali menyakitkan, semoga pada detik berikutnya kedewasaan bisa mengalahkan. Mendahulukan hati, menomor-duakan gengsi, dan menaruh urusan-urusan pribadi pada urutan yang kesekian
Aku tidak akan menaruh janji, aku tidak akan mengecap kata ‘selamanya’ pada garis edar perasaan kita. Aku tidak akan mempertanyakan pada Tuhan bagaimana nantinya akan berkelanjutan. Yang aku tahu, aku tak pernah memiliki rasa lelah untuk berpisah dengan sesiapa terkecuali kamu.
Aku lelah berpisah, aku tak tahu lagi jelasnya suatu arah. Memikirkan kata 'pisah’ seperti ada ketidakrelaan yang menggantung ditiap hurufnya. Aku masih memikirkan kelanjutan cerita kita,
Yang pernah jadi kekasihmu.
Sampai pagi ini, aku masih menasbihkan namamu dalam doa yang begitu fasih.
Sedemikian rupa kata terangkai menjadi bait puisi, sebuah aksara terkirim dalam doa yang nyata, semoga Tuhan mendengarkan karena aku mengirimkan doa atas namamu dengan begitu indah
Ya, kurasa...kamu adalah kenangan yang akan mengabadi, seandainya lewat sebongkah harapan yang aku tanamkan, aku lebih cepat saat itu memahami bagaimana kita sebagai manusia seharusnya membawa doa dalam tiap cinta kita. Entah aku saja, atau memang kita yang ada di dalamnya
Namun hujan hari ini dan daun-daun yang berjatuhan saat ini, menyadarkan aku bahwa selepas kepergian rindu, aku tak menemukan apapun di balik serpihan hujan. Ya, kau beranjak, tak menghiraukan doa yang aku lepaskan untuk tumbuh dalam tandusnya ruang kepedulianmu terhadapku, atau mungkin alam semesta yang tak mampu menerimanya dan mungkin waktu yang tak memberi kesempatannya. Setelah setiap luka yang kau asuh meredahkan perihnya, kau lupa aku juga terluka. Dan akupun lupa bahwa aku bukan lagi sosok yang kau cintai.
Sedemikian rupa kata terangkai menjadi bait puisi, sebuah aksara terkirim dalam doa yang nyata, semoga Tuhan mendengarkan karena aku mengirimkan doa atas namamu dengan begitu indah
Ya, kurasa...kamu adalah kenangan yang akan mengabadi, seandainya lewat sebongkah harapan yang aku tanamkan, aku lebih cepat saat itu memahami bagaimana kita sebagai manusia seharusnya membawa doa dalam tiap cinta kita. Entah aku saja, atau memang kita yang ada di dalamnya
Namun hujan hari ini dan daun-daun yang berjatuhan saat ini, menyadarkan aku bahwa selepas kepergian rindu, aku tak menemukan apapun di balik serpihan hujan. Ya, kau beranjak, tak menghiraukan doa yang aku lepaskan untuk tumbuh dalam tandusnya ruang kepedulianmu terhadapku, atau mungkin alam semesta yang tak mampu menerimanya dan mungkin waktu yang tak memberi kesempatannya. Setelah setiap luka yang kau asuh meredahkan perihnya, kau lupa aku juga terluka. Dan akupun lupa bahwa aku bukan lagi sosok yang kau cintai.
Oktober hampir berlalu pergi, aku membungkus rapi setiap harapan. Bagaimana mungkin cinta dan rinduku tetap tumbuh subur sementara di hadapanku kau menjadikan hatimu sebagai ladang tandus yang begitu gersang? Mengalihkan pandangan, tak lagi melihatku yang mulai meradang.
Dari hati yang berusaha terus meminta ruang kau memilih pergi sebagai alasan untuk tidak berjumpa kembali di pertemuan selamanya. Rindu semakin meruncingkan jarumnya, menyulam rasa menjadi satu nyawa yang hidup dalam ketidak-tahuan kapan ia akan dibalas sendu. Oktober rupanya tak cukup panjang untuk aku meyakinkan hatimu kembali, meruntuhkan setiap ego jiwaku dan membangun kembali ruang cinta dalam aksara tanpa kata. Aku berteriak, mengutuk diri, membunuh perih, semakin sesak dalam sekat paru-paru yang semakin kehilangan udara. Kehilangan keyakinan dari kamu yang semakin kurasakan menghilang dan terhalang.
Kamu, adalah kenangan luka terindah yang Oktober berikan tahun ini. Pertemuan, dan perpisahan. Semua saling bersinggungan dalam satu garis kehidupan. Arah yang membawa langkah, kehilanganmu adalah agenda yang tidak pernah tertulis sebelumnya, ingin menerima, meskipun pada akhirnya aku tetap kalah pada situasi yang membuatku resah. Namun aku hanya ingin menyampaikan dalam ruang-ruang kecil yang tersisa saat ini, aku akan tetap disini, menunggu alam semesta menerima, dan angin membawakan jawabannya, karena detak jantung dan nadiku akan selalu, merindukanmu.
Sampai Jumpa
Aldi.