Sebab untuk mencintaimu, sebenarnya aku masih memiliki keberanian. Mengantarkan bahasa angin yang sukar aku tafsirkan. Entahlah, angin kali ini terasa begitu sejuk, menghembus membelai tiap angan yang aku rasa tidak akan mengubah apapun dari pahit kenyataan. Sebab ia melebur pikiranmu dalam kata-kata, kerangka yang rapuh dalam mengungkap cinta. Tidak seperti aku yang bermain rasa, rumit. Lalu pagi datang, mencari aksara pada prosa yang aku ubah menjadi sebait puisi cinta. Tidak terlalu manis untuk kau nikmati, namun puisi sesungguhnya adalah kamu. Telah redup semua angan. Kakiku melangkah pada sekumpulan angin yang lewat. Berdoa agar rinduku terbawa olehnya. Entah sampai padamu atau hilang entah kemana. Tapi yang kurasa angin begitu dingin. Sedingin sikapmu terakhir kali. Yang membuat bertanya, apakah aku boleh merindumu, sekali lagi?
Aku bertekuk pada nestapa, arah angin yang berhembus seolah menyapa ternyata menuai luka. Dalam pangkuan semesta yang gundah aku menjelma menjadi jiwa yang cemburu pada setiap kepedulian yang kau beri. Pasrah tak melawan pada kenyataan selepas pagi nanti bahwa tak akan ada embun yang menghiasi hari. Diam pada malam tak berbintang, semakin sunyi bersama kita yang tak lagi berbincang. Mengartikan sepi, larut dalam keinginan yang aku kemas sendiri, maka sebelum aku punah dalam sejarah izinkan aku menjadi orang itu, Pria yang selalu kau perhatikan, kau berikan cinta tanpa alasan.
Sudah waktunya pergi, bukan karena kalah hanya sadar bahwa rasanya telah usang. Tidak lagi sama, perlahan menuju punah.
Sebenarnya, sulit untuk berhenti. Jiwamu telah tertanam dalam ambisi. Aku sadar, setiap kali kita berusaha untuk mencapai sesuatu kita sering kali melaju melebihi kemampuan kita sendiri. Memaksakan keadaan dengan dalih perasaan. Memaksa logika agar kalah dan membiarkan diri diselimuti sepi, sedih dan keresahan yang tidak pernah bertepi. Hatimu, adalah tualang yang tak akan pernah bisa aku gapai puncaknya. Meskipun aku berusaha sekeras mungkin dan mematahkan kaki demi terus berjalan. Alih-alih menguatkan diri aku malah membunuh diri sendiri. Rasamu tak lagi sama, telah usang. Namun cinta yang terlanjur membutakan hingga aku takbisa melihat kenyataan. Aku yang mencintaimu sampai rasanya setengah mati. Dan benar kamu yang menikam perasaanku sampai mati. Lantas berkabunglah setiap perasaan yang punah menuju muara yang berlabuh entah dimana. Mengikuti takdir yang entah ditulis oleh siapa. Semakin aku mencintai semakin aku berteman duka. Usang hatimu dan hatiku, didera kenyataan dan aku yang harus dipaksa menerima semua kehilangan.
Kita sering kali terjebak, salah mengartikan banyak hal yang berujung perbedaan. Awalnya, aku kira kita bisa benar-benar bersama. Menyelesaikan segala hal yang selama ini menjadi keresahan. Katamu, kamu lelah menunggu, begitupun aku, telah sangat lelah mencari. Beranggapan bahwa kebetulan yang hebat mempertemukan kita. Dan kenyataan yang pahit ternyata memisahkan kita
Entahlah, aku tak lagi merasakan apa-apa. Kecewa mungkin ada beberapa, sedih kurasa tak seberapa. Ah, nampaknya aku telah mati rasa. Berkali-kali dipatahkan, berkali dihancurkan sampai aku tak tahu harus memberikan apa lagi untuk dihancurkan ketika mungkin nanti seseorang yang baru akan datang. Kamu memutuskan pergi setelah mati-matian meyakinkan aku bahwa kamu tak akan pergi. Katamu usai, tak ada lagi yang bisa kita lakukan. Oh iya, memang begitu. Lagi pula jika bagimu pergi meninggalkan ku adalah hal yang paling baik, aku bisa apa? Pada masanya terganti sudah segala rindu dan bahagia menjadi nestapa penuh aksara. Dalam getar aroma airmata kesedihan yang juga dibicarakan oleh pelupuk. Ternyata ini belum saatnya untuk aku berbahagia, mungkin masih banyak lagi usai-usai yang harus aku hadapi. Ah mengapa untuk bahagia rasanya harus sesakit ini? Bagian paling sakit dari patah hati adalah tidak tahu harus merasakan seperti apa lagi bentuk kecewa. Hanya bisa tersenyum dan menahan getar airmata serta hati yang tidak tentu arah. Fase kesedihan dimana logika tidak mampu mendefinisikan segala kata. Kamu tahu rasanya, sayang?
Di pertengahan Mei ini aku ingin menyampaikan, tenanglah, aku baik-baik saja. Mungkin hal yang tidak penting bagimu. Tapi entah mengapa aku ingin saja mengatakannya. Usai yang kamu berikan mungkin benar telah selesai. Namun perjalanan tentu belum usai. Masih banyak yang harus kita selesaikan sendiri-sendiri. Ah, maaf. Aku masih terlalu naif mengatakan tentang kau dan aku dengan kata, kita. Maaf ya, namanya juga baru patah. Sisa-sisa aroma cintamu masih ada yang tertinggal di rinduku
Aku tampak bahagia kan?
Tanpa kamu tahu, aku menulis ini sembari menangis di dalam hati.
Dan bait terakhir dari syair-syair tuhan ini aku ingin bicara tentang segala gundah yang ada
Atas rasa-rasa yang sempat membahagiakan
Atas rindu yang selalu dibalas sendu
Atas temu-temu yang melahirkan tawa
Atas ciuman-ciuman yang membangunkan kita dari perasaan sia-sia
Atas peluh bersama peluk
Atas janji dan harapan untuk bersama
Kini kita telah usang,
Entah siapa yang akan merasa lebih kehilangan,
Atas apa yang pernah sama-sama kita perjuangkan.