Apa yang harus kita bicarakan lagi? Semua sudah jelas, kamu diatas pilihanmu dan aku diatas sisa dari pilihan, menyedihkan, tapi apa yang harus aku katakan? salah memang ketika aku menyakini kata-kata "dunia ini tidak adil" tanpa aku sadari bahwa kamu adalah duniaku, yang tidak adil dan egois adalah diri kita sendiri. Mengenalmu, adalah hal yang patut aku syukuri. Mari memberi jedah, agar rindu tetap terasa ada. Agar aku dan kamu masih memiliki waktu untuk sekedar saling bertegur sapa. Sebelum semuanya musnah, jejak angin yang tak pernah terbaca oleh tangis. Hingga musim selimuti hati dalam kepekatan rindu yang kita silangkan bersama ragu mendekap dalam hari berlembar hari tentang mengapa kita harus sadar pada poros berputarnya hidup. Ini waktu memberi jedah, sebelum manis menjadi pahit seutuhnya, sebelum semua perjalanan dan pertemuan terasa sia-sia.
Hujan kali ini mengingatkan aku bahwa dahulu aku pernah punya cerita. Tentang nestapa di langit senja merah yang luntur karena bias hujan airmata. Kenangan pahit, rumit dan meninggalkan gigil di lapisan kulit terdalam. Kau yang pergi saat hujan datang, menenangkan hati sambil berkata, "tunggulah disini, akan ku cari payung untuk kita pulang agar kau tak kebasahan" rupanya, aku memang tak kebahasan. Hingga hujan berhentipun kau tak kunjung datang membawa payung yg kau janjikan. Benar sekali , aku tak basah sama sekali. Namun aku merasakan kehilangan yang teramat pedih. Saat ketika bayangmu tak lagi ku temui di pagi berhujan yang kita puja. Kini hujan hanya menuai airmata. Esok atau lusa, kita akan berhenti berdebat banyak tentang rasa. Kita pada akhirnya akan paham betul, tentang mengapa Tuhan menciptakan banyak perbedaan. Kita tidak harus memaksakan diri. Hanya saja memang keadaan sulit untuk kita pahami. Begini saja, perkara berdoa yang berbeda atau kepercayaan yang berlawan arah aku berharap kelak akan ada persimpangan baru di hidup kita yang akan membawa kita bertemu pada sebuah titik tuju yang sama. Entah itu untuk bersama, atau datang hanya itu sebuah kata pisah. Bagaimana? Bukankah ini cara kita untuk memastikan rasa? Daripada sibuk lalu mati dalam menerka-nerka.
Kau bersenandung dalam pikiranku, mengusik banyak celah ruang kosong pada sisi imajinasi yang berontak ingin bersuara. Kau memang belum sepenuhnya utuh, bayang wajahmu masih terlihat semu. Entah bagaimana aku mendeskripsikan lagi banyak hal tentang keindahan. Padamu, aku benar-benar telah jatuh hati. Jatuh sejatuh-jatuh nya pada lembah belantara tersembunyi. Menyesatkan aku hingga aku lupa bagaimana seharusnya aku melukiskan rasa. Dimana dirimu yang nyata sebenarnya berada? Dan waktu kita telah tiba, mengulas kembali tiap lembayung yang menyerukan kenangan senja. Tenangkan dirimu sayang, sebentar lagi kita akan benar-benar melupa. Entah karena kita tua, atau karena waktu telah menggariskan perpisahan. Tenanglah kau sekelam pagi, lalu awali hari dengan begitu rapi. Serapi kenangan yang akan kau hapus pelan-pelan. Pagi memang tak terlalu dingin, namun tidak pula cukup hangat untuk tak merindukan dekapanmu.
Setiap senja wangi nafasmu bertiup meluluhkan malam menjadi semakin kelam
@loalding