Penghujung september, 2020
Seandainya bisa, aku ingin kembali ke waktu itu. Kali pertama aku dipertemukan oleh semesta denganmu. Aku ingin membatalkan segala perjanjian, dan memilih berdiam diri agar saat itu, aku tak akan pernah mengenalmu. Kali ini aku tengah menyusuri setapak jalan dalam peralihan rencana Tuhan. Beberapa bagian diatas banyak keindahan yang selama ini aku pertahankan sendiri, melihatmu dalam tatap sendu, beku sedingin kalbu. Dimatamu, aku menenggelamkan diri sendiri dengan sengaja, berusaha mencapai dasar hati yang penuh dengan imaji. Pertanyaan tak terjawab, semakin hari semakin sesak, menahan diri dalam tanda tanya yang kian meng-hantui. Dimatamu, aku melihat lautan luas. Tempat segala resah bisa menuntaskan dirinya sendiri. Menikmati yang menepi, mengisi hari dengan ambisi bahwa aku adalah pelaut yang rela berteman badai untuk mencapai kepemilikanmu. Puan, kamu telah hidup didalam hatiku. Memberiku nyawa untuk terus mendayung menuju lautan luas dimatamu. Membawa sepotong senja yang kucuri diam-diam dari serpihan sore agar di tengah sana kita bisa berdua menikmati senja. Sayang, apakah ini adil untuk kita?
Kamu telah hidup dihatiku, lagi kamu adalah nafas yang kualiri sendu ke segala ruang tubuh, memberi kehidupan, memberi harapan. Namun nyata dari semua nuansa indah adalah duka, ditengah lautan luas, aku hanya bertemu dengan sepi, ia berkata, kamu telah lama pergi. Memutuskan untuk menepi dan merayu senja yang utuh. Rupanya, diantara panjang perjalananku kamu memilih meninggalkan sepi, kini kamu bukan lagi lautan luas, kamu adalah tepian senja, yang ada banyak pasang mata rela menunggu untuk keindahanmu yang sementara. Sekali lagi sayang, apakah ini adil untuk kita?Dimatamu aku telah tenggelam, cukup lama. Dengan segala peralihan atas banyak luka dimasa silam. Kini apakah ini akan menjadi akhir yang tidak pernah aku duga? Di setiap hembus belai angin pujaan tibalah saatnya kata seru menderu dalam sungkur angin ke dalam pelukan sayap kebersamaan yang membakar menjadi abu, menjadi bisu menjadi debu yang dari dulu datang sebagai rindu tanpa ragu. Kakiku melangkah pada sekumpulan angin yang lewat. Berdoa agar rinduku terbawa olehnya. Entah sampai padamu atau hilang entah kemana. Tapi yang kurasa angin begitu dingin. Sedingin sikapmu terakhir kali. Yang membuatku bertanya, bolehkah aku merindukanmu, sekali lagi?
Saat itu, Tuhan sebut kita sia-sia. Bahwa segala macam usaha kita untuk mendaki menuju puncak hanya akan menuai patah. Benar sekali puan, saat kita telah hampir sampai di pintu kebahagiaan yang melukiskan berbagai bentuk keindahan, kau menikamku begitu dalam. Merobek lembar hati yang pernah aku percaya bahwa bongkahan rasa ini seutuhnya untukmu saja, Rupanya, selama ini aku memberi cinta dan kau dengan bijaksana menuang cuka di atas luka. Membuat perih dingin yang aku rasa sendiri, padahal sejak awal langkah pertemuan adalah kesepakatan yang kita toreh sebelum kita benar-benar ingin menuai buah dari benih cinta. Lantas, Tuhan benarkah apa yang kita jalani selama ini adalah sebuah kesia-siaan?