Di tengah keramaian akhir Minggu, aku masih menyendiri tanpa tujuan. Ingin melupakan, namun aku masih memiliki keberanian untuk bertahan dan mengingatnya. Entah sampai kapan, berbulan-bulan yang lalu, terjebak dalam elegi palsu berharap semua luka ini adalah mimpi yang semu. Kekeringan hatiku dan hari-hari yang telah kita jalani, menjadi duka meradang yang membuat aku hilang kendali, kehilangan kesadaran untuk bertahan.
Sampai beberapa waktu yang lalu, aku masih percaya bahwa kamu akan dapat ku miliki. Aku rela tersesat berkali-kali. Memutar jalan yang sama berharap kamu masih menungguku di tempat terakhir kita bertemu. Rupanya, tersesat ku sendiri saja. Mengitar jalan dari angan yang telah pergi meninggalkan. Kamu sudah lama pergi, tepat setelah semua mimpi-mimpi kita kandas sebab hati yang ingin lekas lepas.
Aku tidak ingin menjadi semakin lupa jalan, kaki melangkah mencari arah. Menemukan seluk dari belukar tubuh yang rindu dipeluk. Ilalang subur dalam ingatan, memenuhi ruang imaji hingga kau semakin tak nampak di ujung diri. Aku merapikan sendiri semua pelik, dalam balutan rindu yang semakin mencekik. Kamu tak kutemukan dalam pencarian, saat aku terlena rupanya kau diam-diam melupakan.
Masih banyak keinginan perihal hidup yang belum tersampaikan. Masih banyak sekali rencana demi rencana yang masih menjadi rencana. Alih-alih ingin bersikap tegar keadaan membuat hati semakin hingar. Jauh dari keramaian, manusia-manusia mulai menyadari tentang betapa sunyi menikmati sepi. Kenyataan berbanding terbalik, bayangan tentang mimpi laksana bianglala yang berputar memenuhi ruang imaji. Aku ingin, aku akan, aku telah. Sampai dimana hidup hanya akan tentang berjalan mengukir sejarah menjadi prasasti yang di kenang abadi lalu mati dalam ruang imaji sendiri?
Semestinya aku menyerah saja dan keadaan memaksa untuk mengalah. Semestinya aku tidak berputus asa. Hanya kenyataan memang sedang menebar luka. Semestinya kita, yang berjuang menjadi utuh, menyerahkan segala rasa pada tangkupan doa yang nyata. Berdua saling mendoakan nama dalam amin paling serius yang bersama kita tanamkan. Seharusnya, aku tidak kesepian. Seharusnya, kau tidak meninggalkan. Sedalam ini aku mengutuk kenyataan bersama langkah perginya kamu di bawah cahaya bulan. Semestinya kita, tidak berada pada garis rasa yang berbeda. Nyatanya, ini hanya perasaan ku saja.
Aku bukan keras kepala. Aku hanya belum menemukan alasan mengapa aku harus menyerah. Selepas dari segala sunyi yang kita jalani sendiri-sendiri, membawa aku pada sebuah rindu tak nyata. Bagaimana bisa kau mengundang nestapa sementara kita hanya menjadi sepasang asing yang hening?
Kepadamu yang aku cintai sembari melirik kematian rasa, kita memang hanya bermain-main dengan nasib. Musabab setinggi apa pun tembok yang berdiri, patah hati tetaplah kawan karib. Ia datang menangkup suka dan tawa, lantas membawa seberkas nama kita ke seberang lembah terluka. Biarlah aku yang tertidur dalam dekap buai rindu. Perjuangan tetap harus berjalan. Karena untuk mencintaimu, rengkuh nafasmu masih aku butuhkan. Semestinya, saat aku menuliskan puisi ini kamu ada di sampingku. Tertawa sembari mengingatkan aku perihal beberapa kosakata yang harus aku tulis. Semestinya, rengkuh nafasmu hangat kurasakan, bukan hanya sekedar kenang dan bayangan.
Aku yang selagi masih menanti rasa untuk sedikit saja kau jenguk aku selalu memenjarakan sepi saat lirih dalam isak tangis merangkul bayangmu untuk ku semayamkan diantara kabut yang pernah dulu kau singkap menjadi rindu. Seharusnya aku, tidak mati dalam rindu. Seharusnya kita, bahagia dalam candu.
Teruntuk kamu yang mungkin akan membaca tulisan ini, ku beri tahu bahwa aku sedang merindukanmu.
Untuk beberapa bait terakhir aku tidak akan membahas perkara apapun tentang kita yang tidak lagi saling menyapa walaupun hanya melalui pesan singkat. Perkara siapa yang pergi atau siapa yang tersakiti, biarkan semua berjalan pada garis hidup kita masing-masing. Dan sekarang, aku hanya sedang berkunjung untuk sedikit menuliskan beberapa bait tulisan yang aku persembahkan untuk kamu, untuk kali ini saja apabila kamu membaca ini rasakan lah bahwa aku tengah mengatakan ini di depan tatap matamu.
Aku masih mengingat semua tentangmu. Awal mula dimana kita pernah hampir kehujanan pada malam yang dingin dan angin yang menusuk relung jiwamu. Katamu kau tak apa, bukan masalah karena dingin malam tidak pernah sebanding dengan dingin sikapmu. Aku masih mengingat semua tentangmu, tentang kita yang berdiskusi perihal waktu, 30 menit kita harus pulang, dan menjadikan segala cerita adalah hal yang riang. Malam itu, dirumah makan cepat saji sembari menikmati es-krim mc flurry, aku mengerti. Bahwa berandai-andai saja bukan jalan yang baik untuk aku mendapatkanmu. Rupanya, aku gagal menanggapi rasa, rupanya, aku keliru dalam perihal tafsir cinta.
Meski masih banyak yang ingin aku katakan padamu. Aku tidak ingin memberatkan hatimu dengan perihal yang telah membuatmu malu. Maka akhir dari wisata masalalu ini aku hanya ingin kamu membaca ini dan rasakan secekup rindu di atas sepasang alismu.
Setelah itu kau akan mengerti maksudku. Aku hanya sedang rindu, rindu berdiskusi tentang seberapa cepat waktu mengalihkan semua.
Sampai beberapa waktu yang lalu, aku masih percaya bahwa kamu akan dapat ku miliki. Aku rela tersesat berkali-kali. Memutar jalan yang sama berharap kamu masih menungguku di tempat terakhir kita bertemu. Rupanya, tersesat ku sendiri saja. Mengitar jalan dari angan yang telah pergi meninggalkan. Kamu sudah lama pergi, tepat setelah semua mimpi-mimpi kita kandas sebab hati yang ingin lekas lepas.
Aku tidak ingin menjadi semakin lupa jalan, kaki melangkah mencari arah. Menemukan seluk dari belukar tubuh yang rindu dipeluk. Ilalang subur dalam ingatan, memenuhi ruang imaji hingga kau semakin tak nampak di ujung diri. Aku merapikan sendiri semua pelik, dalam balutan rindu yang semakin mencekik. Kamu tak kutemukan dalam pencarian, saat aku terlena rupanya kau diam-diam melupakan.
Masih banyak keinginan perihal hidup yang belum tersampaikan. Masih banyak sekali rencana demi rencana yang masih menjadi rencana. Alih-alih ingin bersikap tegar keadaan membuat hati semakin hingar. Jauh dari keramaian, manusia-manusia mulai menyadari tentang betapa sunyi menikmati sepi. Kenyataan berbanding terbalik, bayangan tentang mimpi laksana bianglala yang berputar memenuhi ruang imaji. Aku ingin, aku akan, aku telah. Sampai dimana hidup hanya akan tentang berjalan mengukir sejarah menjadi prasasti yang di kenang abadi lalu mati dalam ruang imaji sendiri?
Semestinya aku menyerah saja dan keadaan memaksa untuk mengalah. Semestinya aku tidak berputus asa. Hanya kenyataan memang sedang menebar luka. Semestinya kita, yang berjuang menjadi utuh, menyerahkan segala rasa pada tangkupan doa yang nyata. Berdua saling mendoakan nama dalam amin paling serius yang bersama kita tanamkan. Seharusnya, aku tidak kesepian. Seharusnya, kau tidak meninggalkan. Sedalam ini aku mengutuk kenyataan bersama langkah perginya kamu di bawah cahaya bulan. Semestinya kita, tidak berada pada garis rasa yang berbeda. Nyatanya, ini hanya perasaan ku saja.
Aku bukan keras kepala. Aku hanya belum menemukan alasan mengapa aku harus menyerah. Selepas dari segala sunyi yang kita jalani sendiri-sendiri, membawa aku pada sebuah rindu tak nyata. Bagaimana bisa kau mengundang nestapa sementara kita hanya menjadi sepasang asing yang hening?
Kepadamu yang aku cintai sembari melirik kematian rasa, kita memang hanya bermain-main dengan nasib. Musabab setinggi apa pun tembok yang berdiri, patah hati tetaplah kawan karib. Ia datang menangkup suka dan tawa, lantas membawa seberkas nama kita ke seberang lembah terluka. Biarlah aku yang tertidur dalam dekap buai rindu. Perjuangan tetap harus berjalan. Karena untuk mencintaimu, rengkuh nafasmu masih aku butuhkan. Semestinya, saat aku menuliskan puisi ini kamu ada di sampingku. Tertawa sembari mengingatkan aku perihal beberapa kosakata yang harus aku tulis. Semestinya, rengkuh nafasmu hangat kurasakan, bukan hanya sekedar kenang dan bayangan.
Aku yang selagi masih menanti rasa untuk sedikit saja kau jenguk aku selalu memenjarakan sepi saat lirih dalam isak tangis merangkul bayangmu untuk ku semayamkan diantara kabut yang pernah dulu kau singkap menjadi rindu. Seharusnya aku, tidak mati dalam rindu. Seharusnya kita, bahagia dalam candu.
Teruntuk kamu yang mungkin akan membaca tulisan ini, ku beri tahu bahwa aku sedang merindukanmu.
Untuk beberapa bait terakhir aku tidak akan membahas perkara apapun tentang kita yang tidak lagi saling menyapa walaupun hanya melalui pesan singkat. Perkara siapa yang pergi atau siapa yang tersakiti, biarkan semua berjalan pada garis hidup kita masing-masing. Dan sekarang, aku hanya sedang berkunjung untuk sedikit menuliskan beberapa bait tulisan yang aku persembahkan untuk kamu, untuk kali ini saja apabila kamu membaca ini rasakan lah bahwa aku tengah mengatakan ini di depan tatap matamu.
Aku masih mengingat semua tentangmu. Awal mula dimana kita pernah hampir kehujanan pada malam yang dingin dan angin yang menusuk relung jiwamu. Katamu kau tak apa, bukan masalah karena dingin malam tidak pernah sebanding dengan dingin sikapmu. Aku masih mengingat semua tentangmu, tentang kita yang berdiskusi perihal waktu, 30 menit kita harus pulang, dan menjadikan segala cerita adalah hal yang riang. Malam itu, dirumah makan cepat saji sembari menikmati es-krim mc flurry, aku mengerti. Bahwa berandai-andai saja bukan jalan yang baik untuk aku mendapatkanmu. Rupanya, aku gagal menanggapi rasa, rupanya, aku keliru dalam perihal tafsir cinta.
Meski masih banyak yang ingin aku katakan padamu. Aku tidak ingin memberatkan hatimu dengan perihal yang telah membuatmu malu. Maka akhir dari wisata masalalu ini aku hanya ingin kamu membaca ini dan rasakan secekup rindu di atas sepasang alismu.
Setelah itu kau akan mengerti maksudku. Aku hanya sedang rindu, rindu berdiskusi tentang seberapa cepat waktu mengalihkan semua.