Hai apa kabar? Aku berharap kamu baik-baik saja, tangis di dada masih terasa sesak, aku masih belum baik-baik saja saat semua genggaman begitu mudah terlepas, semua berjalan begitu cepat hingga aku sulit melupakan bagaimana senyuman indah itu harus berganti dengan rinai air mata di bulan oktober ini. Maaf apa bila kali ini tulisan-ku begitu melankolis, begitu tidak percaya diri, ya memang akhir-akhir ini aku telah menjalankan hari dengan krisis percaya diri.
Tiba kala rasa itu punah, mendesak tiap sajak
kutulis tetap tanpa arti. Dia mati, hanya berupa rangkai kata abstrak tanpa
makna. Semua terasa mesra namun kosong, meninggalkan bait-bait sajak yang
pernah aku tulis untukmu. Yang terangkai dalam kenang, haru membisu tersapu
melangkah dibunuh waktu. Mari sini lukaku, kita yang tengah berdamai. Lupakan
sejenak sesak sesak kecil dihati tahan dia agar taklepas kendali tak teriak
ucap kecewa tak luntur lantas airmata dan tak mati karna lupa menahan diri.
Sajak yang patah, jiwa layangku hampa. Lantas, dimana aku akan berdiri?
saat kau pergi dan pulang bersamanya. Membayang rasa tertampar luka? Kau tetap
dengan manis berkata jangan kau terus bermain dengan cemburumu. Aku pun punya
kehidupanku, dan cintaku tentunya begitu katamu. Lalu, kemana akan kubawa
sajak-sajak ini? Hendak kamu bakar saja semua sajak, mungkin. Tapi tak semudah
itu. Jatuh cinta bukan perkara mudah aku takakan pernah bermain bersamanya.
Namun jika ketika matamu tetap saja tidak menatapku dengan sendumu maka
biarkan, biarkan aku tetap pada tempatku. Tempat yg mungkin sejak awal tak
sepantasnya aku disini. Tenang, aku tak akan mengganggu nadamu, aku tidak akan
merusak kebun cintamu. Tetapla hidup, jalan mu kebahagiaanku dan apabila ini
waktu untuk aku melepaskan, maka beri aku waktu untuk melupakan. Lantas tiba
kala rasa itu punah. Pada akhirnya dalam doa aku hanya mampu berdoa dengan hal
lebih realistis, semoga kau bahagia dgn siapapun kau bersama.
Setelah kupahami memang aku bukan yang
terbaik yang ada di hatimu, tak dapat lagi ku sangsikan ternyata
dirinyalah yang dapat mengerti kamu begitu hebat, bukanlah diriku. Maka kini
maafkanlah aku bila aku menjadi bisu kepada dirimu, bukan santun kuterbungkam,
hanya saja hati ku yang berbatas untuk mengerti kamu, Dan sekali lagi
maafkanlah aku. Walau kumasih mencintaimu, aku harus meninggalkanmu aku harus
melupakanmu, meski hati kumenyayangimu, nurani ini membutuhkanmu, ku harus
merelakanmu. Yang tidak bisa aku jelaskan hanyalah tentang sikapmu yang
terlalu membuat semesta bertanya-tanya, semudah kau datang ubah sepiku menjadi
sebuah puisi cinta lalu kembali kau akan menuai luka di antara harap bahagia.
Angin sejuk Oktober menyapu detik, menyuarakan kekecewaan yang runtuh bersama
rinai hujan datang membawa badai, porak-porakan hati yang sempat kau susun rapi
sendiri. Kau datang dengan cinta, awalnya. Membuatku memutuskan untuk
hadir di permukaan rasa setelah lama aku memilih tenggelam dalam kurung diri
sepi sendiri. Bagiku, bersembunyi di balik kebahagiaan palsu lebih baik
daripada aku harus terjebak dalam kurungan diri yang tak tampak. Aku bukan
prioritas, tempat kau menuangkan lelah tanpa batas. Setelah bahagia hampir
sempurna menjamah, dengan cepat kau merubah sikap. Menghapus senyum seketika
senyapkan suasana. Kau kembali tak bergeming, dalam hiruk pikuk kota terlampau
bising. Disini, ditempat yang pernah kau rindu aku berteman hujan, dalam
kediamanmu yang tak bertepi serta tatap mata dingin tak berarti kau kian
membuat hatiku mati. Percayalah puan, hatiku telah cukup bijaksana
menerima semua permainan rasa yang kau tata sedemikian rupa. Kau tahu? Yang aku
takutkan bukanlah kau yang datang lalu pergi lagi. Aku hanya takut jika kamu
harus pergi dan tidak kembali lagi. Maka silakan tuntaskan hasrat untuk mempermainkan
perasaan, setelah kamu merasa telah pula cukup bijak, kemarilah dan jangan
pernah berpikir lagi untuk sebuah kepergian. Hidup dalam keabadian, tetap
bernafas pada aliran udara yang kita kemas di pada kotak kecil yang semesta
beri nama harapan. Tahun ini, keinginanku hilang. Sangat pelan sampai aku tak
tahu bagaimana seharusnya aku berdoa. Tentang banyak keinginan yang aku andai
dalam peran melandai membawa aku pada kisah yang patah. Berharap utuh, ternyata
yang aku temui hanya luka yang fana. Kepergianmu, adalah satu batas
kehilangan yang belum pernah aku ikhlaskan. Puan, habisi lelah di tubuh ini.
Alirkan kembali darah yang mengalir mesra melewati aurta menari di antara sekat
jantung jiwa. Ku tegaskan rasa tidak punah. Tatap mata yang masih merah sehabis
menguras airmata dalam kenyataan bahwa hatimu, tidak pernah mencintaiku. Bahwa
detik-detik berharga dalam hidupku ketika mengenalmu adalah detik hampa dalam
nafasmu yang lewat begitu saja. Bagimu, aku tetap bukan siapa-siapa meskipun
aku telah memberikan segalanya. Membekas namun semakin merasa terlepas.
Tiap pelukan hangat yang pernah menjadi bara api kala dingin merasuk sepi.
Jantungku tetap berirama, meski kehilangan satu nada yang berontak meminta
sempurna. Patah hati kali ini menjadi teguran kepada hati yang telah lama
bersembayang dalam sepi. Setelah kepergian malam yang aku temui hanya kembali
kelam. Tidak ada cahaya untuk menerangi jalan kemana aku harus melangkah
setelah perpisahan? Semua masih terasa sama seperti dulu kala. Tidak ada yang
berubah kecuali kamu telah tak di tempat yang sama. Memupuk lara menoreh luka
bersama hati yang memaksa raga terus mengeluarkan kalimat penuh derita.
Dan terimakasih untuk perjalanan panjang yang pernah kita tuai
bersama, anggap semua adalah bentuk pendewasaan diri, dan tugasku adalah
mengiklaskan segala kenangan yang pernah kita ukir, semoga kelak kita
dipertemukan kembali dalam sebuah hubungan yang lebih baik, untuk puan yang ada
di ujung kota sana, aku hanya ingin mengungkapkan rasa untuk terakhir kali, Aku
Mencintaimu, semoga bahagia selalu. Aku yakin pria pilihan-mu adalah wujud
nyata dari segala doa yang pernah engkau ungkapkan kepada pemilik alam semesta
ini. Hai, love you.
Salam Hangat
Aldi.
:(