Sekali ini aku berada pada fase dimana hati, selalu di hantui oleh bisikan suara yang terus bergema di telinga, "Dia tak mencintaimu"
Suara itu selalu saja berbisik, masuk di antara cela hati dan mengirim perintah kepada otak untuk menerima kenyataan pahit. Hatiku keluh, nestapa di antara perasaan dan logika. Bertanya, apakah perasaan hangat saat bersamanya sama-sama kita rasakan? Atau benar kata suara bisikan itu, bahwa dia senang ada bersamaku di beberapa kesempatan namun dia tak ingin ada untuk ku pada satu ketulusan.
Pesan kepada hati terus saja mengirimkan pertanda, bahwa kau harus segera berhenti melangkah. Tetap melangkah pun tak apa, asal kau mampu dengan bijaksana merubah arah. Karena, berjuang sekeras apapun kau tak akan pernah berhasil mendapatkan bagian dari perhatian sikapnya. Semaksimal apapun usaha yang kau lakukan, kau tidak akan pernah mendapatkan ruang di hatinya. Baginya, kau bukan prioritas. Dan baginya, mungkin saja kau hanya tempat yang dia kunjungi untuk menghapus sepi dalam penat yang lepas. Sekali lagi, kau bukan pemeran utama di drama hidupnya. Kau hanya korban dari akibat kegagalan menanggapi rasa
Hati mulai goyah, terus menerima pesan-pesan isyarat menyerah. Rasanya ingin sekali aku bertahan, namun kenyataan berbanding lurus dengan apa yang suara itu selalu sampaikan. Serta merta menjadi tidak percaya diri. Melihat senyum manis dia perlahan menjelma dalam lingkup wajahnya seperti jingga di langit senja. Namun kita semua tahu, senyum di wajah itu karena nuansa dari keikhlasan senja menenggelamkan dirinya untuk berbagi cahaya, bukan dariku sesosok malam gelap yang kehilangan cahaya di jantung kota
Kau bukan prioritas, Kau hanya pemeran pengganti, kala mungkin saja sang pemeran utama tengah sedikit tidak peduli. Kau hanya lara, yang dia singgahi kala sepi. Kau penghilang duka, kala airmatanya butuh penghapus sementara. Setelah itu, baginya kebahagiaan tetap datang bukan darimu. Kau hanya setitik cahaya kecil saat ia lahir dan membutuhkan sebuah mentari di pagi dingin
Nafasku menyentuh pagi dalam bisik, ku telisik perlahan terasa ada yang hilang. Pagi masih melakonkan semesta seperti sedia kala, tidak ada hal apapun nan berubah. Serpihan mentari yang mulai mengintip, hiruk pikuk jantung kota yang mulai pelik, para manusia bertebaran keluar lantas memantaskan diri pada sebuah drama kehidupan. Sementara aku, masih bertahan dalam kesunyian, mencoba mencari ada sebuah kebiasaan yang hilang. Ah, mengapa pagi ini terasa ganjal di hati? Seperti kekurangan sesuatu di antara segala riuh yang terus merengkuh ku. Apakah pagi ini lembayung dan rasa sedang mempermainkan ku pada sebuah kegelisahan lara?
Pagi adalah waktu paling baik untuk kita memupuk rindu. Karena rindu yang kita sandingkan bersama lembayung pagi akan mekar sempurna kelak di saat mentari benar tenggelam, meninggalkan jingga di langit senja atau sekedar purnama pucat di malam hampa. Aku yang mulai sadar, lantas kita akan semakin lupa. Pagi ini rupanya tidak memvisualkan dirimu kembali di sebuah perbincangan hangat. Ternyata, aku kehilangan dirimu. Sosok yang menemaniku berbincang hingga embun lahir dan jatuh sebagai bulir harapan di kening kita. Aku mencarimu, di antara kabut lembayung pagi yang bisu. Di antara kelabat bayang belantara tersembunyi, di antara puing kenangan yang telah mati di tikam kenyataan pedih. Aku tetap mencarimu, di antara sejuta jiwa datang mencoba beri sapa. Namun aku tahu, tak ada embun sehangat tatap matamu, tak ada pagi sehalus belai tanganmu
Lembayung pagi, dan segala keresahan hati. Kopi pahit yang aku seduh dengan cinta kini terasa pekat di buai airmata. Lantas kita akan semakin saling lupa, tentang rasa yang tertanam kala pagi menjulang tinggi dalam harapan. Aku mencarimu, berharap setelah layung memuai dan hilang akan kutemui kembali sosok dirimu yang berdiri membawa kunci jawaban rasa. Yang dimana hatiku telah terkunci lama sejak kau hilang membawa semua cinta. Di dalam tubuh dan malam ku, hampa seperti terlalu sepi. Dan semakin menjadi kosong, ku berguman di atas diam bersama resah. Tak sampai lagi masa hingga aku bisa menikmati suka. Malam telah terlalu lelah, mari kita sejenak mengistirahatkan raga. Gelas kopi telah terasa begitu, tidurlah. Rindu pun butuh tidur, dia lelah menemanimu seharian bersama pelipur.
Nafasku, menyentuh pagi pada ruang hampa. Kekosongan merona, menyapa mesra ruang kosong di relung jiwa. Aku bisa menjadi ikhlas tanpa pernah merasa kehilangan, aku mampu menjadi lepas, perlahan melupakan lembar kisah yang awalnya tak ingin aku lepas. Pagi merengkuh mimpi, di bangunkan aku dengan sukacita seperti bunga pagi yang mekar menebar wangi cinta. Sebuah usaha dari melupakan, akan sangat menyenangkan jika aku percaya bahwa setiap yang datang sesungguhnya akan kembali pulang ke tempat awalmu, bukankah ini sepi yang selalu kau impikan? Setelah semua hari-hari bersama kita lalui, aku pun akan kembali pulang pada rumah yang akan aku bangun sendiri. Tanpa kenangan, tanpa harapan atas dirimu untuk juga kembali pulang dan menetap. Sebuah hasil dari usaha melupakan, adalah hidup dalam ketenangan berkepanjangan. Selepas berjuang sepanjang bulan, menemui banyak kenyataan bertabur kepahitan. Rasa yang gundah mengundang nestapa, sekarang kau lihat senyumku, apakah aku terlihat rapuh tanpamu?
Bagiku, mengikhlaskan tak pernah semenyenangkan ini. Bagiku, patah hati tak pernah sebijaksana ini. Seolah aku di beri tinta dari serpihan harapan baru, untuk menuliskan prosa dalam puisi yang aku kemas serapi mungkin. Bunga yang ku semai telah mekar sempurna, menandakan aku akan segera bersuka cita, bahagia tanpa airmata dan merona aku di pangkuan semesta. Nafasku, menghembuskan aksara sebelum aku menutup lembaran cerita, kita akan pulang pada kehidupan awal. Pada garis dimana kita tak lagi bersinggungan. Menyapa lembah sunyi yang perlahan berseri, lalu bahagia kita tanpa lagi akan merasakan perih.
Dari pengkhayal malam
@loalding