Berhenti menerka-nerka, apa yang akan terjadi, apa yang akan di hadapi. Semua garis ini telah menitik satu akhir, pahit dari semburat manis senyummu di ujung sore sebelum kita memutuskan untuk duduk berdua bercerita perihal luka. Menjadi pernah namun tidak pernah ada, mesra yang kosong karena semesta sore itu membisikan sebila perih di ujung imaji.
Bagiku, kedua telinga ini di ciptakan untuk mendengar segala keluh jiwamu, tangan ini adalah untaian keikhlasan yang siap menjulur perihal apapun yang kau perlukan. Mulut ini adalah visual yang akan mempuisikan segala riuh rendah luka sebagai penawar lara dari hatimu yang haus akan aksara. Sesungguhnya, segala yang ada pada tubuh ini adalah milikmu, meski aku harus menerima kenyataan bahwa hatiku, dan hatimu tidak akan pernah tercipta untuk menjadi satu
Kusisipkan pesan kepada hati, sabarlah. Kau berhak bahagia. Berdamai dengan segala andai-andai hampa dan omong kosong belaka. Hati ini tahu bahwa ia bukan yang utama, namun ia yang juga tak rela jika kau nestapa di tikam yang utama. Meski pada akhir puisi, tetap aku yang akan mati dalam sepi sendiri. Namun setidaknya hatiku pernah merasakan betapa hebatnya perjuangan mendamba rasa tanpa balas cinta. Untukmu, aku selalu punya cinta. Meski aku sadar, aku bukan yang utama.
Semu Terasa, semoga saja kau cukup paham memaknai kata. Puisi dalam kenang terkemas rapi di pelataran malam. Bagaimana kau bisa terlihat begitu menenangkan?
Diammu adalah pesona yang Tuhan senandungkan seperti bias warna langit senja. Aku adalah zat yang mengagumimu dalam gelap, bukan sekedar mataku mengagungkan pesonamu namun gejolak jiwa yang berdistraksi pada cahaya menyampaikan sajak tertulis dalam setiap bait nya
Ada banyak perasaan yang tidak bisa aku jelaskan saat ketika aku berhadapan pada ruang hatimu yang sunyi. Ada banyak sekali gelisah yang tidak mampu aku terjemahkan dalam kata kala waktu aku menemuimu untuk sekedar membagi sendu. Karena aku tahu, rinduku butuh rumah. Dan hatimu, adalah rumah yang paling rindu butuhkan saat ini
Aku menemuimu di batas waktu, saat aku memastikan bahwa sore telah benar-benar tenggelam. Dari sebuah rindu yang tak berpuan, aku menuliskan sebuah puisi karena aku tahu, puisi adalah visual paling hebat bagi rindu yang tak tahu arah jalan pulang. Kau kian merekah, setiap harinya kian subur merona, hati berkembang bunga-bunga tumbuh di beranda cinta tandus perlahan mekar kau sirami ladang hati yang haus lama terbakar, Kosong malam bersabda pada aku yang terlanjur mati dalam keinginan menjadi orang lain. Menasbihkan cinta dengan nyata tanpa ada celah untuk aku berkata cinta. Mengantarkan bahasa angin yang sukar aku tafsirkan, entahlah, angin bulan maret terasa begitu sejuk, menghembus membelai tiap angan yang aku rasa tidak akan mengubah apapun dari pahitnya kenyataan. Kau penerang langkahku jika yang kutemui hanya gelap. Kau peneduh jiwa ketika hati ini perlu berlindung. Kau penunjuk arah ketika langkah ini tersesatkan. Kau adalah arah langkahku. Tujuan hidup yang ingin aku capai segera.
Salam Hangat
Muhammad Renaldi
Bagiku, kedua telinga ini di ciptakan untuk mendengar segala keluh jiwamu, tangan ini adalah untaian keikhlasan yang siap menjulur perihal apapun yang kau perlukan. Mulut ini adalah visual yang akan mempuisikan segala riuh rendah luka sebagai penawar lara dari hatimu yang haus akan aksara. Sesungguhnya, segala yang ada pada tubuh ini adalah milikmu, meski aku harus menerima kenyataan bahwa hatiku, dan hatimu tidak akan pernah tercipta untuk menjadi satu
Kusisipkan pesan kepada hati, sabarlah. Kau berhak bahagia. Berdamai dengan segala andai-andai hampa dan omong kosong belaka. Hati ini tahu bahwa ia bukan yang utama, namun ia yang juga tak rela jika kau nestapa di tikam yang utama. Meski pada akhir puisi, tetap aku yang akan mati dalam sepi sendiri. Namun setidaknya hatiku pernah merasakan betapa hebatnya perjuangan mendamba rasa tanpa balas cinta. Untukmu, aku selalu punya cinta. Meski aku sadar, aku bukan yang utama.
Semu Terasa, semoga saja kau cukup paham memaknai kata. Puisi dalam kenang terkemas rapi di pelataran malam. Bagaimana kau bisa terlihat begitu menenangkan?
Diammu adalah pesona yang Tuhan senandungkan seperti bias warna langit senja. Aku adalah zat yang mengagumimu dalam gelap, bukan sekedar mataku mengagungkan pesonamu namun gejolak jiwa yang berdistraksi pada cahaya menyampaikan sajak tertulis dalam setiap bait nya
Ada banyak perasaan yang tidak bisa aku jelaskan saat ketika aku berhadapan pada ruang hatimu yang sunyi. Ada banyak sekali gelisah yang tidak mampu aku terjemahkan dalam kata kala waktu aku menemuimu untuk sekedar membagi sendu. Karena aku tahu, rinduku butuh rumah. Dan hatimu, adalah rumah yang paling rindu butuhkan saat ini
Aku menemuimu di batas waktu, saat aku memastikan bahwa sore telah benar-benar tenggelam. Dari sebuah rindu yang tak berpuan, aku menuliskan sebuah puisi karena aku tahu, puisi adalah visual paling hebat bagi rindu yang tak tahu arah jalan pulang. Kau kian merekah, setiap harinya kian subur merona, hati berkembang bunga-bunga tumbuh di beranda cinta tandus perlahan mekar kau sirami ladang hati yang haus lama terbakar, Kosong malam bersabda pada aku yang terlanjur mati dalam keinginan menjadi orang lain. Menasbihkan cinta dengan nyata tanpa ada celah untuk aku berkata cinta. Mengantarkan bahasa angin yang sukar aku tafsirkan, entahlah, angin bulan maret terasa begitu sejuk, menghembus membelai tiap angan yang aku rasa tidak akan mengubah apapun dari pahitnya kenyataan. Kau penerang langkahku jika yang kutemui hanya gelap. Kau peneduh jiwa ketika hati ini perlu berlindung. Kau penunjuk arah ketika langkah ini tersesatkan. Kau adalah arah langkahku. Tujuan hidup yang ingin aku capai segera.
Salam Hangat
Muhammad Renaldi