Entah sampai kapan lagi, keberanian akan diwariskan kepada jiwa-jiwa yang memendam sepi. Entah harus seperti apa lagi, rasa terbujur kaku di balik pesona pagi. Aku tidak sekuat itu, harus memaksakan rasa berjalan pedih. Seperti melangkah di atas pecahan kaca, yang sesungguhnya setiap langkahku hanya akan menuai luka. Ribuan syair telah terlantun dari suara sumbang anak-anak manusia. Yang pada akhirnya, aku hanya menjadi gila di dalam rasa sayang yang fana. Tidak bernyawa namun di setiap nafasnya seolah ada wangi cinta. Apa yang ku tinggalkan tidak akan lagi ku perhatikan. Namun sepi yang kau ciptakan telah mencuri semua perasaan. Tubuhku terbujur kaku di antara hembusan angin pantai, seolah mereka membisikan keputus asaan untuk meruntuhkan keyakinan. Dari aku yang hampir mati di cumbu sepi. Untukmu, jiwa yang dengan sukarela membagi pedih. Entah harus bagaimana lagi kita mewariskan luka pada tiap aksara tanpa kata. Mencoba berteriakpun akhirnya suaraku hanya bermuara di ujung semesta. Kau tak bergeming, untuk menatap mataku saja kau lebih memilih mengalihkan pandang. Tanpa kau sadari, semua sepi yang telah kau cumbu di tubuh ini telah menjelma menjadi setumpuk hasrat yang ingin segera mengeliat. Melepas lelah dalam dekap yang dulu kau pelihara sedemikian hebat. Apakah rasa akan punah seiring kau telah mendapatkan apa yang kau harap? Aku telah memberi seluruh jiwa pada pangkuan semesta. Berharap tubuhmu adalah singgasana terakhir tempat aku menaungkan cinta. Rupanya hanya imaji, Suram terasa gelap. Aku lelap menunggu kapan terang. Di sudut kamar kutulis sajak hitam ku digoyahkan nestapa selaksa kenyataan. ironi haus jawaban nyata, sementara ragamu telah hilang entah kemana. Aku akan menuliskan kalimat sederhana dengan prosa dasar sebagai penutup pada bulan yang memberimu kenang jauh lebih dalam. Agar kau bisa memahami setiap maksud dari tulisan ini, agar aku, kamu dan kita bisa bersama mengerti tentang mengapa kita telah menoreh kisah pahit bersama luka perih di sebongkah hati. Kamu yang aku cintai dengan sunyi, tak banyak suara berkata sampaikan rasa. Hanya raga serta dorongan kuat untuk memberikan segala lara, yang akhirnya menghantarkan aku pada segenggam dingin kutup, menandai kesempatan telah tertutup. Pada sikapmu yang memilih pergi, dalam keinginan untuk menjadi sendiri. Bersama hasrat untuk menarik hati, menuju pelabuhan rindu tempat pria idamanmu berlabuh.
Ada banyak perasaan yang tidak bisa aku jelaskan saat ketika aku masuk ke dalam ruang hatimu yang sunyi. Ada banyak sekali gelisah yang tidak mampu aku terjemahkan dalam kata kala waktu aku menemuimu untuk sekedar membagi sendu. Karena aku tahu, rinduku butuh rumah. Dan hatimu, adalah rumah yang paling rindu butuhkan saat ini. Aku menemuimu di batas waktu, saat aku memastikan bahwa sore telah benar-benar tenggelam. Menjadi elegi, ketika aku di hadapkan atas sebuah rasa yang ternyata (lagi) tidak menemukan gundah yang sama. Aku ada di sebelah pihak, rasa yang tidak merasakan apa yang aku rasakan. Dari sebuah rindu yang tak berpuan, aku menuliskan sebuah puisi karena aku tahu, puisi adalah visual paling hebat bagi rindu yang tak tahu arah jalan pulang. Aku pun begitu, menikmati semua hal yang bisa aku nikmati, walau aku tahu rindu ini tak bisa aku rasakan manisnya. Teramat perih saat waktu tidak hanya membuatku menahan rasa lapar dan haus, kepada kamu dan semua kenyataan, aku juga harus menahan banyak rindu hingga senja tenggelam. Dari sebuah gelisah, aku memastikan betul bahwa kamu adalah sosok yang paling tepat untuk aku bagi rindu ini. Kepada kamu, hati yang aku jaga dari jauh karena aku paham bahwa bertemu tidak akan merubah apapun dari setiap harapan semu. Rinduku, adalah rindu yang nyata. Kepada kamu jiwa yang masih menjadi mimpi dalam fatamorgana rasa. Gundah yang mengundang gelisah. Dan dari sebuah rindu,
Aku melahirkan puisi yang kutulis untukmu.
Kita adalah kisah yang berbeda, dimana aku yang salah memilih langkah hingga kau menganggap semua palsu.
Selamat malam, salam hangat
@loalding