Sisa jemari masih menari tanpa henti. Menuliskan banyak harapan tentang kamu yang akan segera hilang. Bukan hilang sebenarnya, kamu hanya pergi untuk bisa kita kenang. Hidup dalam keabadian, tetap bernafas pada aliran udara yang kita kemas di pada kotak kecil yang semesta beri nama harapan. Tahun ini, keinginanku hilang. Sangat pelan sampai aku tak tahu bagaimana seharusnya aku berdoa. Tentang banyak keinginan yang aku andai dalam peran melandai membawa aku pada kisah yang patah. Berharap utuh, ternyata yang aku temui hanya luka yang fana
Pagi tadi aku masih menangis, berteman sepi melandasi pagi dengan derai lara airmata. Sempat aku yakini bahwa ada rasa yang tak kunjung mati. Tetap hidup mengalir di lembah sanubari tersembunyi. Ada seseorang di atas janji ku untuk ku temui kembali di keabadian, menahan semua rasa malu dan sungguh aku tak ingin lagi terjatuh. Percayalah, padamu segala rindu telah ku labuhkan di dermaga hatimu. Mampukah kau memberi perayaan untuk menyambutku?
Sempat ku berpikir masih bermimpi. Nyata cintamu yang hadir tanpa henti. Di setiap pagi. Di setiap relung hati yang sunyi. Di antara lembah batas harapan senyap yang di hingarkan atau sepi yang paksa ku usir pergi. Matahari dan bulan saksinya, hari ini setelah aku terbangun dengan kenyataan bahwa ada rasa yang tak mau hilang. Aku takut sepi tapi yang lain tak berarti, sungguh hanya dirimu yang ku nanti. Lebih dari anganan pecandu sepi untuk mati. Katanya mimpiku akan terwujud, menjelma bahagia di antara tawa dan suka cita gema di atas alam semesta. Katanya aku tak perlu risau, karena penantian akan hadir mengobati sakau. Namun sayang sekali, Mereka lupa bahwa mimpiku adalah tentang mimpi buruk. Sudah ku ucap semua pinta sebelum ku memejamkan mata. Berharap nestapa hanya mimpi belaka. Berharap saat aku terbangun kau tetap ada.
Yang tidak bisa aku jelaskan hanyalah tentang sikapmu yang terlalu membuat semesta bertanya-tanya, semudah kau datang ubah sepiku menjadi sebuah puisi cinta lalu kembali kau akan menuai luka di antara harap bahagia. Angin sejuk Januari menyapu detik, menyuarakan kekecewaan yang runtuh bersama rinai hujan datang membawa badai, porak-porakan hati yang sempat kau susun rapi sendiri
Kau datang dengan cinta, awalnya. Membuatku memutuskan untuk hadir di permukaan rasa setelah lama aku memilih tenggelam dalam kurung diri sepi sendiri. Bagiku, bersembunyi di balik kebahagiaan palsu lebih baik daripada aku harus terjebak dalam kurungan diri yang tak tampak. Aku bukan prioritas, tempat kau menuangkan lelah tanpa batas. Setelah bahagia hampir sempurna menjamah, dengan cepat kau merubah sikap. Menghapus senyum seketika senyapkan suasana. Kau kembali tak bergeming, dalam hiruk pikuk kota terlampau bising. Disini, ditempat yang pernah kau rindu aku berteman hujan, dalam kediamanmu yang tak bertepi serta tatap mata dingin tak berarti kau kian membuat hatiku mati.
Aku masih disini, dengan perasaan yang sama.
Salam Hormat
Muhammad Renaldi