Aku tak peduli lagi dengan gengsi, aku tak ingin lagi berpura-pura setuju dengan perpisahan itu, aku tak bisa lagi berperan seolah-olah jadi yang paling kuat. Aku tak ingin kamu hanya berdiri dan menyesali. Aku ingin kamu menghampiriku dan berbisik,
“Aku telah pulang”
Tanpamu, ada hal-hal sederhana yang kini baru kusadari terasa begitu istimewa. Aku sudah terbiasa dengan serangkaian hari kita yang penuh dengan peristiwa-peristiwa manis. Dari bertukar selamat pagi dan selamat malam sebagai pengawal dan batas usainya hari
Berlomba menjadi yang lebih rindu untuk mengajak bertemu. Atau caramu membuatku ingin selalu bermanja di bahumu dengan mengacak-acak rambutku dengan lembut. Sungguh, aku sudah terlalu terbiasa. Dan tanpamu, yang kurasa hanya hampa. Tanpamu, mereka menyoroti pandangan-pandangan aneh bahwa kita tak pernah berhasil mengikat cinta
Benarkah? Apa tak bisa kita bantah apa yang mereka katakan? Kita memang tak berhasil, tapi bukankah kita masih saling mencintai? Aku hanya tak ingin jauh, tak ingin membiarkan orang lain mengisi hatimu, membiarkan orang lain mengganti posisiku di ruang pikirmu
Karena yang kuinginkan hanya aku yang dijadikan tempat pertama olehmu. Ingatlah rasa-rasa pertama kali saat kamu mulai menjatuhkan hati. Indah bukan?
Ada yang berbeda, ketika mata kita saling bertemu di titik yang sama. Ada yang bergetar tanpa mengenal irama, kala senyum melebar, meski entah dipersembahkan untuk siapa.
Pada akhirnya kita dibuat mengerti bahwa hal yang pernah berakhir sia-sia tidak selamanya akan terbuang begitu saja. Mereka akan tertanam dan tumbuh sebagai alasan mengapa jiwa harus bertahan. Pada rasa sakit yang perih, aku memantaskan diri. Untuk sebuah usaha bangkit dari nelangsa, agar raga lekas siuman dari luka. Secukupnya saja, mari menikmati duka. Karna beberapa orang hanya lelah, bukan menyerah. Beberapa orang hanya berhenti, bukan mengakhiri. Dan Beberapa orang hanya mengambil jeda, bukan membunuh harapan-harapan di kepala.
Namun aku percaya, hadirnya jurang pemisah bukan tanpa suatu tujuan yang tidak beralasan. Itu mungkin hanya jeda yang melatih hati agar semakin dewasa. Agar kita sama-sama menjadi pemerhati yang peduli akan kondisi hati. Agar kita tahu seberapa besar cinta yang tersembunyi selama ini. Agar kita tahu selama apa hati telah absen mengungkapkan opininya sendiri.
Kita tidak akan pernah saling mencari lagi jika kita tidak benar-benar masih saling mengingini kan? Karena aku tahu, pada yang selain kamu hati tak bekerja sesempurna itu sebagai rumah untuk cinta. Karena kamu pun mengaku, pada yang selain aku rasa yang kau edarkan hanya sebatas rangkaian palsu. Kita pun sama-sama tahu, ada pekerjaan besar menunggu untuk melahirkan perbaikan-perbaikan bagi sebuah perasaan yang sempat kita sepelekan. Kita pun sama-sama tahu, kesempatan tidak datang dua kali pada yang berniat menyia-nyiakan.
Kita adalah dua anggota pasukan rasa yang melebur jadi satu nyawa. Untuk ketidak-akuran yang sering kali menyakitkan, semoga pada detik berikutnya kedewasaan bisa mengalahkan. Mendahulukan hati, menomor-duakan gengsi, dan menaruh urusan-urusan pribadi pada urutan yang kesekian
Aku tidak akan menaruh janji, aku tidak akan mengecap kata ‘selamanya’ pada garis edar perasaan kita. Aku tidak akan mempertanyakan pada Tuhan bagaimana nantinya akan berkelanjutan. Yang aku tahu, aku tak pernah memiliki rasa lelah untuk berpisah dengan sesiapa terkecuali kamu.
Aku lelah berpisah, aku tak tahu lagi jelasnya suatu arah. Memikirkan kata 'pisah’ seperti ada ketidakrelaan yang menggantung ditiap hurufnya. Aku masih memikirkan kelanjutan cerita kita,
Yang pernah jadi kekasihmu.
Sedemikian rupa kata terangkai menjadi bait puisi, sebuah aksara terkirim dalam doa yang nyata, semoga Tuhan mendengarkan karena aku mengirimkan doa atas namamu dengan begitu indah
Ya, kurasa...kamu adalah kenangan yang akan mengabadi, seandainya lewat sebongkah harapan yang aku tanamkan, aku lebih cepat saat itu memahami bagaimana kita sebagai manusia seharusnya membawa doa dalam tiap cinta kita. Entah aku saja, atau memang kita yang ada di dalamnya
Namun hujan hari ini dan daun-daun yang berjatuhan saat ini, menyadarkan aku bahwa selepas kepergian rindu, aku tak menemukan apapun di balik serpihan hujan. Ya, kau beranjak, tak menghiraukan doa yang aku lepaskan untuk tumbuh dalam tandusnya ruang kepedulianmu terhadapku, atau mungkin alam semesta yang tak mampu menerimanya dan mungkin waktu yang tak memberi kesempatannya. Setelah setiap luka yang kau asuh meredahkan perihnya, kau lupa aku juga terluka. Dan akupun lupa bahwa aku bukan lagi sosok yang kau cintai.
Oktober hampir berlalu pergi, aku membungkus rapi setiap harapan. Bagaimana mungkin cinta dan rinduku tetap tumbuh subur sementara di hadapanku kau menjadikan hatimu sebagai ladang tandus yang begitu gersang? Mengalihkan pandangan, tak lagi melihatku yang mulai meradang.
Dari hati yang berusaha terus meminta ruang kau memilih pergi sebagai alasan untuk tidak berjumpa kembali di pertemuan selamanya. Rindu semakin meruncingkan jarumnya, menyulam rasa menjadi satu nyawa yang hidup dalam ketidak-tahuan kapan ia akan dibalas sendu. Oktober rupanya tak cukup panjang untuk aku meyakinkan hatimu kembali, meruntuhkan setiap ego jiwaku dan membangun kembali ruang cinta dalam aksara tanpa kata. Aku berteriak, mengutuk diri, membunuh perih, semakin sesak dalam sekat paru-paru yang semakin kehilangan udara. Kehilangan keyakinan dari kamu yang semakin kurasakan menghilang dan terhalang.
Kamu, adalah kenangan luka terindah yang Oktober berikan tahun ini. Pertemuan, dan perpisahan. Semua saling bersinggungan dalam satu garis kehidupan. Arah yang membawa langkah, kehilanganmu adalah agenda yang tidak pernah tertulis sebelumnya, ingin menerima, meskipun pada akhirnya aku tetap kalah pada situasi yang membuatku resah. Namun aku hanya ingin menyampaikan dalam ruang-ruang kecil yang tersisa saat ini, aku akan tetap disini, menunggu alam semesta menerima, dan angin membawakan jawabannya, karena detak jantung dan nadiku akan selalu, merindukanmu.
Hai, saya kembali, setelah kurang lebih saya Hiatus tujuh
bulan dari blog ini akhirnya saya kembali hari ini, saya kembali atas desakan
beberapa Manusia untuk saya kembali menulis, saya tau tulisan saya belum sebaik
Raditya Dika atau J K Rowling namun saya rasa "Terusalah Menulis Hingga
Penamu Habis" harus saya ingat betul. Beberapa bulan kebelakang orientasi
saya menulis bukan tentang karya dan penikmat lagi, namun saya ingin selalu
membawa nilai-nilai emosional kedalam tulisan saya sehingga Ekspetasi saya
terhadap tulisan saya terlalu tinggi, namun beruntungnya saya punya Tami yang
selalu mengingatkan saya bahwa menulis adalah bagian dari kehidupan saya. Mari
kita masuk kedunia yang belum pernah kita temui sebelumnya.
Memang,
selain pencemburu ulung, aku sepertinya berbakat jadi pengeluh ulung. Setiap
hal, mulai dari yang kecil, bisa membuatku gila jika menurutku mereka tidak
berada pada tempatnya. Sayangnya aku keseringan luput memahami bahwa dunia gak
melulu berjalan seperti menurutku.
Bisa juga menurut pacarku. Dan itu sah luar dalam. Yang selalu membuat aku
bahagia, pacarku selalu punya cara meredam setiap emosiku ketika menghadapi dunia yang bajingan ini, dia selalu
pandai mengingatkan ku bahwa mengalah bukan bagian dari kalah, dia mampu
membisikan kata-kata ajaib yang mampu membuat berfikir bahwa membuktikan diriku
besar kepada sesuatu yang kecil tidaklah berguna.
Pacarku
bukan orang yang definitif. Kebutuhannya bukan mendefinisikan setiap istilah
yang ia temukan. Dia lebih senang punya pengalaman dan belajar dari sana. Bukan
pakai KBBI, melainkan intuisi. Aku sendiri sadar susah sekali menguraikan dia
sebagai seorang manusia yang begitu
— manusia yang gak berkutat di kamus, tapi bisa membawakan seisi
dunia ketika berbicara denganku.
Kurasa
pacarku ini jelmaan dari aku ingin
mencintaimu dengan sederhana-nya Sapardi. Yang hujan biar jadi hujan, yang
abu biar jadi abu. Dalam satu whatsapp-nya,
dia bilang, “puisi boleh puitis, film boleh dramatis, tapi hidup jangan.” Aku
langsung paham dan tersedak. Jujur saja, bukan dia yang pertama kali bilang
ini, tapi ini pertama kalinya aku memercayai orang yang mengatakan ini.
Ketenangannya ini persis seorang Stoic. Dia akan berusaha sesantai-santainya supaya pembawaan anxious attachment-ku tidak memengaruhi dirinya. Bukan berarti dia
tidak bisa marah. Untuk setiap kesalahanku yang ditangkapnya, dia berpotensi
meneriaku. Untuk sinisme yang seringkali kulontarkan, dia berpotensi kesal
sekesal-kesalnya. Tapi dia tidak pernah meludahiku. Dia yang mampu mengingatkan ku bahwa orientasi kehidupan selain di
terima namun pula menerima, aku yang di paksakan dewasa oleh orientasiku
sendiri terkadang tidak mampu memaafkan diriku sendiri namun dia selalu punya
cara untuk memberikan maaf atas segala kegagalan ku.
Dia punya pandangan lain yang tidak mampu aku definisikan, aku ingat
betul ketika aku dalam keadaan setengah gila, dia datang untuk menemaniku gila,
ya tidak dia pernah berniat untuk menyembuhkan ku, Ratu Neptunus ini tau bukan
tugas dan tanggung jawab dia untuk menyebuhkan Gila dan sakitnya, Tugas dia
adalah menemaniku hingga aku waras dan normal. Diapun tidak pernah melarang ku
untuk menangis, selalu dia berucap “Nangis saja, kamu tetap terlihat hebat
walaupun menangis” .
Dan layaknya peramal dia bilang kepada ku bahwa tulisanku tetap bernyawa walau sepi pembaca, padahal dia sering kali tidak paham dengan istilah-istilah yang aku gunakan. Namun dia benar hari ini aku membuktikan bahwa aku masih dapat menulis, dan tulisan ini aku dedikasikan untuk wanita ini. Aku mencoba keluar dari tulisan aku biasanya agar dia mudah menegrti apa yang aku maksud. Setajam-tajamnya pengamatanku, pengamatannya jauh lebih tajam. Ia memakai perspective taking dengan caranya sendiri. Ia tidak pernah bilang “aku ini pakai perspective taking loh!”. Dia gak tahu istilah itu. Aku yang tahu. Dan dia memang tidak memerlukan suatu istilah apa pun untuk mendefinisikan perilakunya. Pacarku memang sederhana, tapi tidak sepele. Hidupnya mengamini kunfayakun yang difirmankan Tuhan kami. Terimakasih Tami, sudah mampu mengubah sudut pandangku terhadap dunia.
Salam Hangat
Aldi.
Hai apa kabar, sudah lama tak jumpa melalui tulisan ya, beberapa waktu kebelakang, aku kehilangan kepercayaan untuk menulis lagi, seringkali aku berdialog pada diri sendiri tentang bagaimana kelanjutan blog ini, apa masih ada peminat atau sudah kehilangan nyawa karna dimakan usia, namun bagiku berkarya tidak harus memikirkan tentang jumlah yang menikmati. Kuantitas bukan menjadi tolak ukur untuk aku berhenti menulis. kita sudahi omong kosong ini, mari masuk kedunia yang belum pernah kalian temui sebelumnya. Selamat menikmati!
Aku ingat kamu, disetiap jumpa dan bincang-bincang menuju dinihari. Beberapa malam sebelum berpisah, kita menghabiskan banyak waktu untuk merencanakan masa depan bersama. Pada akhirnya, kita hanya bisa tersenyum, pahit memang. Namun ini adalah kenyataan dari perjalanan hidup yang harus kita terima.
Untuk seseorang yang pernah begitu kupahami, Maaf kalau harus menyebutkan kata-kata ‘pernah’. Karena memang pernah dan kini tak lagi. Ada sebuah batas transparan dari dirimu yang kini tak pernah bisa kusentuh. Arena khusus yang tak lagi menyertakan aku dalam arenanya. Pikiranmu yang tak bisa lagi kuterka akan kemana tujuannya. Ada banyak hal sederhana yang kini berformula menjadi rumit. Dan seolah-olah perubahan-perubahan ini membuat kita saling menyalahkan diri sendiri. Bukan salahmu, jika ada yang harus selesai di antara kita. Bukan salahku, jika tak bisa lagi meneruskan setiap rasa pertama kali yang pernah kita bagi, Ini hanya cara kita belajar bahwa memang perlu ada yang berubah. Dan biarkan waktu yang mengajari kita untuk menerimanya, ya?
Pada genggaman tanganmu, Aku pernah mempercayakan masa depanku. Yang kini harus segera kutata kembali supaya sebisa mungkin serupa baru. Ada titik yang semestinya kutinggalkan, sementara aku masih diharuskan untuk menanggung kecewanya sebuah perasaan. Meski tidak sepenuhnya bisa melupakan, seperti kamu yang tidak semudah itu menyamakan kembali tujuan agar sama seperti pada permulaan. Aku sedikit penasaran, apa masih ada kita? Jika tidak, ini adalah terakhir kalinya aku menyapamu lewat kata-kata. Bukan, bukan putus asa atau enggan menjejakkan kaki pada penantian, tapi kupikir berjuang sendiri pun tak ada guna.
Kamu harus tau satu hal, banyak rencana-rencana yang tanpa sadar telah kuangankan denganmu sebelumnya, tapi itu hancur beberapa waktu lalu, sebab kesalahanku. Mulanya, kita sejalan, kita tahu ke mana langkah kaki mengarah. Beberapa persimpangan dilewati, beberapa keputusan besar diambil; tak jarang mengorbankan ego hati. Dan kini, sampailah kita pada titik ini. Persimpangan yang lain, tanda tanya besar yang lain. Seperti sudah lelah mengalah, kita tak mampu bersepakat untuk memilih arah. Kita seperti harus memilih jalan tengah. Menyuarakan apa yang selama ini sudah menjadi pilihan. Ada beberapa hal yang sudah mengalami perubahan, dan kita tak lagi sedang membawa kecocokan yang pernah dibanggakan. Kesamaan yang pernah ada ternyata tak bisa untuk saling beriringan bersama. Ada yang berbeda dari kita, entah siapa yang sudah menyadarinya sejak lama. Mungkin yang kini kita butuhkan adalah jarak, juga waktu. Jarak agar kita tak saling bertemu. Dan waktu agar kita mampu sembuhkan luka terlebih dahulu. Mencari pengganti hanyalah rencana hati. Sebab dalam dada ini, tetap hanya ada kamu terpatri, sulit kuganti. Dan setelah ini, meski aku yakin sulit bagiku untuk benar-benar pergi, namun tak mungkin untuk kembali lagi. Kamu pernah menjadi tujuan akhir yang ternyata harus diakhiri. Kamu pernah menjadi penghapus luka yang akhirnya mencipta duka.
Aku berdoa pada semesta, agar ini hanya jalan takdir menuju bahagia; bukan hanya sebuah rencana yang tak berakhir dengan semestinya. Aku undur diri, atas segala rasa yang nantinya bisa memperburuk kondisi hati. Aku undur diri untuk menitipkan lagi segala rasa yang pernah saling kita bagi dulu. Aku undur diri untuk segala masa depan yang dulu pernah kita impi-impikan. Langkahku pelan-pelan menjauh, mungkin kenangan akan begitu riuh, tapi takkan membuat beberapa luka semakin melepuh. Maaf jika aku tak mampu lagi bertahan, dan maaf jika aku secepat ini melepaskan. Namun hal-hal pahit, harus kau cicipi lebih dulu agar kau tahu apa rasanya manis. Sesendok pelajaran sedang kita lahap bersama-sama, tentang kenyataan bahwa tak seharusnya lagi kita bersama. Lepaslah dengan rela. Karena suatu hari, kita akan sama-sama tersenyum mengingat hari ini.
Memasuki pekarangan hatimu adalah cara terbaik mengenal cinta. Dan mengundurkan diri adalah satu-satunya hal yang paling tepat untuk menjauh dari pergerakan luka. Kita akan baik-baik saja. Selamat menemukan yang lain selain aku. Jika ada kesempatan untuk bertemu lagi, semoga semesta mengizinkanku untuk berbenah diri sehingga ke hidup ini kamu dapat dengan leluasa menjejakkan kaki.