A C A K.

By Muhammad Renaldi - August 11, 2019

Untuk segala andai-andai di masa lalu, sekarang, maupun yang akan datang, izinkanlah cerita singkat ini mengudara, menghirup oksigen segar, sesegar hari-hari kemarin. Hari di mana pagi bukan hanya sebatas permulaan yang dingin. Di antara riuh ramai jantung kota, pagi menyilangkan garis batas pada penat yang berontak ingin lepas. Tergenggam erat keyakinan, bahwa dalam angan akan lahir sebuah rasa yang perlahan jatuh menuju rebah, dalam dekapan, dalam harapan, yang pernah aku upayakan mengatas-namakan cinta.

Pagi yang masih menjadi rekah mentari, juga tempat berkumpulnya embun di pepucuk daun. Di matamu yang embun rindu terasa kian rimbun. Pagi selalu membuatku kian pilu saat terbangun. Lantas saat kita membuka jendela, bunga kenanga menebar wangi sempurna di beranda. Wangi cinta. Lalu desir angin lambai pelepah nyiur di pesisir, betapa sepi mengalir di ruang hati yg getir. Dalam lintasan kabut kita jari-jari yang saling menaut, saling menguatkan hingga ajal menjemput.  Di biasnya langit setelah hujan dengan warna-warna karya Tuhan. Biru menerawang dari balik jendela langit, bahwa di sana rasaku pernah utuh tertitip malu mengharap semesta perintahkan angin agar terbang rinduku sampai di telingamu. Duka mengundang iba, kau tetap tidak bergeming di atas pengakuan rasa. Alirkan kembali darah yang mengalir mesra melewati aurta menari di antara sekat jantung jiwa. Ku tegaskan rasa tidak punah. Tatap mata yang masih merah sehabis menguras airmata dalam kenyataan bahwa hatimu, tidak pernah mencintaiku. Bahwa detik-detik berharga dalam hidupku ketika mengenalmu adalah detik hampa dalam nafasmu yang lewat begitu saja. Bagimu, aku tetap bukan siapa-siapa meskipun aku telah memberikan segalanya

Untuk kau yang tak dapat kusebutkan namanya: untaian kalimat perlahan akan dimakan usia, menghilang bersama cepatnya waktu berjalan. Namun, doaku masih sama, masih terus mengucap dalam benak. Kau tahu itu apa, kau pasti tahu.

Pada suatu pagi, ketika angin mencipta puisi larik sajak mengetuk jendela pagiku sesaat setelah embun lesap bersama mentari yang kian meninggi. Kau tahu? Aku memujamu dalam rindu yang bisu! Setabah daun-daun kering yang diterbangkan angin merengkuh takpernah ingin lepas. Pada akhirnya, cinta akan menuju muara meski di ujung sana, kadang luka telah siap menikam. Lama luka berdiam di ingatan, hingga aku telah lupa tentang embun yang kau lahirkan.

Sebentar lagi pagi akan menyinsing, sayang. Beberapa menit lagi menjelang matahari menampakkan hangat terpanya. Pagi tampaknya masih sama, tanpa kau, tanpa tawa, tanpa muslihat, ataupun tanpa yang lainnya. Sayang, aku telah lama mencoba hidup berpura-bura menikmati pagi setelah panjangnya malam, yang siapapun tahu itu adalah kepalsuan hati tanpa adanya engkau lagi mendekapku bersama menyambut pagi, sebab ia melebur pikiranmu dalam kata-kata, kerangka yang rapuh dalam mengungkap cinta. Tidak seperti aku yang bermain kata, membawamu rumit menuju banyak arah mata angin, mencari aksara pada prosa yang aku ubah menjadi sebait puisi cinta. Tidak terlalu manis untuk kau nikmati, namun isi makna sesungguhnya adalah tentang dirimu saja. Kau yang ku cintai tanpa pengungkapan, yang mencintai jiwa lain tanpa banyak alasan. Ku harap, kau akan kembali pada sore perbincangan hangat kita tentang senja yang sengaja tenggelam perlahan untuk menghargai detik waktu sebelum kehilangan. Ku harap, kita akan kembali bertemu pada sebuah pagi cerah yang tidak lagi kita nikmati sendiri-sendiri. Terimakasih kenangan, kau telah menggantikan kehilangan dengan intuisi yang semakin tak tertahan. Tanpa kehilangan aku tidak akan pernah menjadi bijaksana menanggapi kepergian. Percayalah, dari setiap langkah pergimu merupakan aksara-aksara yang akan membuatmu merasa kau selalu ada dalam tulisanku. Bukan perkara siapa yang lebih dulu dan siapa yang merasa di tinggal mimpi. Ini hanya bagian abstrak dari proses hidup menuju kebahagiaan. Pada akhirnya, di antara kita tidak ada satupun yang menjadi pemenang. Kita hanya mesti tenang, berlapang dada menghadapi sebuah kegagalan


  • Share:

You Might Also Like

0 comments