NYALI TERAKHIR

By Muhammad Renaldi - Monday, April 19, 2021

Hari kesembilan belas bulan April, pagi masih hujan. Semalaman aku lalui dalam diam, tak bisa tidur. Bayanganmu mengganggu, kenanganmu mengusik. Tuhan, jika memang ia harus pergi, tak apa. Tapi tolong bawa juga pergi kenangannya. Hujan datang, basah lagi semua kenang. Luka yang hampir kering, kini meradang kembali perih. April memang kejam, hari kesembilan belas aku dibangunkannya dengan duka, hujan dan kenangan ini, apakah semudah itu bisa kita lupa? Aku mencari kamu, tak ada. Diantara bulir hujan pagi, diantara embun di pucuk pucuk daun, diantara pagi bisu, kamu telah hilang. Benar-benar hilang. Kupikir aku hanya tersesat dalam hujan. Ah, kamu pasti menungguku disana, atau juga mencariku sambil membawa payung pelangi. Ternyata aku salah, tersesatku hanya sendiri, sedangkan kamu sudah lama pergi. Kepadamu yang aku cintai sembari melirik kematian rasa. Aku sedang bermain dengan kenang, musabab setinggi apa pun tembok yang berdiri, patah hati tetaplah kawan karib. Ia datang menangkup suka dan tawa, lantas membawa seberkas nama kita ke seberang lembah terluka. Biarlah aku yang tertidur dalam dekap buai rindu. Perjalanan melupakan ini tetap harus berjalan. Karena untuk tetap mencintaimu, telah habis langkah untuk sampai ketempat yang taktahu kemana akan kita tuju. Setiap hujan dibulan April, aku selalu punya kenangan hebat. Kenangan yang tak ingin aku lupa, namun juga tak ingin selalu aku ingat. Perayaan patah hati, dalam kisah perjalanan melupakan, tak ada pelangi yang kau janjikan. Kini pelangiku hampa, tak berwarna. Aku benci harus mengenang, tapi sungguh hujan dibulan April membawaku terbang kembali dalam ingatan. Maka dari itu, biarkan dengan pelan, akan kuceritakan semuanya.


Aku terbangun disebuah April pagi yang berhujan. Ah, hujan ini ialah airmata perayaan atau suka cita dari kenangan? Dia masih nampak sungguh manis, Pikiranku dibawa hujan pagi ini terbang, bertahun-tahun yang lalu. Aku tidak tahu lagi bagaimana harus menelisik kenangan, ia tersamar diantara rintik hujan sepanjang tahun. Meninggalkan jalur airmata sepanjang pipi, hangat, namun sungguh menyayat. Aku masih belum menjadi seperti apa yang pernah kamu inginkan, aku masih tersesat sendiri disini. Kamu sehat? Kamu baik-baik saja kan? Kamu telah cukup bahagia bukan? April hampir berakhir lagi, tapi dengan situasi yang berbeda. Dibawa pergi semua kenangan kita. Entahlah, aku tak tahu apakah kata "kita" Berlaku untuk cerita ini, Sebab aku yang pernah dengan hebat mencintaimu sendiri. Pada kerinduan kita yang telah lama menyusun langkah dalam pergi masing-masing.


Pagi datang mewujud di batas lembayung saat kita mulai mengatur langkah untuk tersesat dalam pergi masing-masing. Aku tidak tahu harap apa yang mesti dirapal saat kita risau untuk hari baik yang sama-sama sempat kita upayakan. Bagiku, mengharapkan kisah untuk menemukan yang lebih baik sama saja seperti membuka Kotak Pandora. Kenangan demi kenangan bakal bermunculan tidak terbendung untuk menyiksa agar luka dapat sembuh perlahan. Namun luka tetaplah luka: tidak bakal pernah bisa sembuh sempurna.
Dibatas waktu aku melihat banyak perpisahan. Kedatangan dan kepergian adalah satu garis lurus yang tidak bisa kita hindari. Ada yang mencoba memaksa, bertahan diatas luka dan rasa yang tak lagi merah. Namun kita memilih hitam, pergi untuk mulai melupakan. Lirih suara denting jam monoton dan menebar kesan kejam. tidak ada apa-apa, rembulan pun telah padam. Tapi perihal sesat di antara kasih dan kesah masih saja menyibukkan diri dalam kelam. Entah mencari apa, atau sekadar menghirup udara malam dingin merentangkan tangan memeluk kepala, mengisap hangat hingga tanpa sisa, ditemani denting lirih suara jam dan siul angin yang mematikan, dan tubuh yang tak indah itu tetaplah sebuah hitam. Entah berapa banyak warna yang harus di tangkap mata. Ia memilukan di setiap perjumpaannya. Kepala yang sesak berontak hebat hingga rongga dada kian muak. Tak ingin lagi meneruskan perjalanan. Tepian pantai yang teduh menjadi saksi pemberhentian. Entah sesaat ataupun lama, aku ingin mengistirahatkan segalanya disana. Dibawah uraian rintik sore yang berjatuhan, tepat dibawahnya makam perasaanku bisa kau temukan. Tidak ada papan bunga ataupun pernak pernik kematian yang mampu kau temukan. Jejak langkahku yang menuju-mu lah yang membawamu pulang untuk melayat jasadku yang hancur karena ketidakpastian. Perpisahan adalah suaka yang membebaskan kita untuk menjadi seutuhnya manusia kenangan. Kepergian diri ialah keputusan tertinggi yang bisa kita dapat sebelum kita memuntahkan segala apa-apa soalan rindu dan cinta dalam kehidupan. Aku dipeluk sukacita, sepenuhnya mengabadi. Aku telah mati. Kita akan menyelesaikan ini. Kamu telah hidup dihatiku, lagi kamu adalah nafas yang kualiri sendu ke segala ruang tubuh, memberi kehidupan, memberi harapan. Namun nyata dari semua nuansa indah adalah duka, ditengah lautan luas, aku hanya bertemu dengan sepi, ia berkata, kamu telah lama pergi. Memutuskan untuk menepi dan merayu senja yang utuh. Rupanya, diantara panjang perjalananku kamu memilih meninggalkan sepi, kini kamu bukan lagi lautan luas, kamu adalah tepian senja, yang ada banyak pasang mata rela menunggu untuk keindahanmu yang sementara.

I'm come trying closure with you.


  • Share:

You Might Also Like

0 comments